Berikut saya sertakan naskah asli yang saya kirim ke redaksi hujan radio. Terima kasih untuk tim hujan radio atas kesempatan dimuatnya argumen saya di situs pusaka mereka.
Saya adalah alumni IPB yang baru
lulus akhir tahun 2011 lalu. Saya merasa terpanggil berbagi opini terkait
tulisan yang digubah Fakhri Jaki tentang surat khususnya yang ditujukan kepada
civitas akademika kampus pertanian yang saya banggakan. Pembaca yang budiman,
dalam kesempatan ini saya akan berusaha menggambarkan kondisi apresiasi seni
musik di IPB dan menjabarkan beberapa hal yang kiranya jadi penyebab tiadanya
gelaran musik gigantik seperti dimiliki universitas lain. Paket argumen ini disarikan
dari komentar yang saya tulis di laman tulisan Jaki ini http://hujanradio.com/features/surat-untuk-civitas-akademika-ipb/.
Selain komunitas, ada tiga
organisasi seni mahasiswa yang legal formal diakui institusi. Artinya mereka
diakui pihak rektorat IPB (Direktorat Kemahasiswaan IPB) sebagai UKM (Unit
Kegiatan Mahasiswa) yang menerima subsidi dana dan dukungan lain untuk kegiatan
mereka. Ketiga organisasi itu adalah Agriaswara, Gentra Kaheman dan MAX!!.
Agriaswara adalah paduan suara yang fokus ke
pementasan tahunan, konser pelantikan, dan lomba-lomba tarik suara hingga ke
luar negeri. Gentra Kaheman adalah organisasi seni sunda yang juga aktif di
pagelaran tahunan dan kompetisi/penampilan ke luar negeri. MAX!! mungkin secara
identitas pergerakan, bentuknya mirip dengan FMF (Forum Musik Fisipol) di UGM.
Bedanya, MAX!! ini cakupannya se-IPB. MAX!! dulu diantaranya pernah mengundang
Glenn Fredly (itu yang saya ingat dari cerita-cerita senior MAX!!). Selain
menggelar acara musik yang menampilkan bintang besar, MAX!! juga pernah
melaksanakan pemecahan rekor MURI untuk rampak gitar terbanyak (2006),
mengikuti konser kolaborasi MAX!!-Agriaswara-Gentrea Kaheman (2007), kompetisi
band MIXMAX (2008), konser musik tradisional-modern ETNIX (2009), dll. Meski
dulu MAX!! banyak menemui resistensi dalam menggelar wahana apresiasi, kini organisasi
yang menjalani tahun kedelapannya ini, sudah stabil dengan beberapa programnya.
MAX!! punya event-event untuk mewadahi musisi-musisi untuk tampil di kampus,
sebut saja Music Corner, Coaching Clinic, dll. MAX!! juga memproduksi album
kompilasi tiap 2 tahun. Hingga kini sudah tiga rilisan yang telah terbit. Saya
pribadi bangga dengan album kompilasi ini, meski ga sebesar Masa Indah Sekali
Pisan Banget, JKT:SKRG atau Jogja Istimewa, setidaknya MAX!! bisa bilang
(melalui album itu) bahwa di IPB, musik/musisi juga ada. Soal gelaran yang
mampu menyedot perhatian massa semagnetik JGTC (Jazz Goes To Campus) misalnya,
IPB memang belum punya. Penyebabnya mungkin mahasiswanya terlalu study
oriented, sehingga squad yang mau dan bisa mewujudkannya, kurang. Mungkin mata
kuliah yang diajarkan di IPB susah dan banyak tugasnya, jadi harus banyak waktu
belajar dan jarang ada waktu kosong buat bikin acara musik. Hal itu saya lihat
ketika teman-teman yang mulanya aktif di MAX!!, mulai perlahan mengurangi
aktivitas organisasi karena penambahan tugas kuliah seiring naik tingkatnya
mereka. Atau mungkin ga banyak yang pengen IPB punya acara musik ikonik, mungkin
sudah merasa nyaman dengan kondisi apresiasi yang sekarang, entahlah. Belum ada
survey resmi tentang alasan-alasan itu. Saya sendiri sudah mengusulkan ke divisi
riset Koran Kampus IPB agar dibuat survey kecil biar kita tahu sisi mana yang
perlu diperbaiki, agar IPB juga punya keterkaitan dengan kata “musik”. Semoga
para jurnalis kampus tertarik mengangkat isu ini.
Saya pribadi setuju jika IPB punya trik melalui jalur
musik untuk menarik perhatian anak SMA agar mau kuliah di IPB dan belajar
pertanian. Dengan begitu, masalah kurangnya peminat studi pertanian—yang dibahas
khusus dalam ini http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/42660 —bisa juga
teratasi. Harapan saya, event musikal khas IPB itu tidak yang bersifat
mengokohkan keakuan. Jangan sampai hanya karena ingin menunjukkan bahwa IPB
juga bisa seperti universitas lain, lalu dihelatlah acara musik yang akbar,
tapi melupakan talenta lokal untuk turut ditampilkan.
Contoh gelaran besar yang melibatkan seluruh
civitas akademika IPB adalah Gebyar Nusantara. Ini adalah event unjuk
kebudayaan daerah asal masing-masing mahasiswa IPB yang berasal dari seluruh
Indonesia. Selain itu, ada IPB Art Contest. Kedua acara yang sering digelar di
gedung Graha Widya Wisuda (GWW) ini diarsiteki BEM KM IPB. Di IAC, musisi
dengan basis massa besar diundang, tentu dengan tidak melupakan musisi-musisi
kampus yang juga dipersilahkan berpentas. Selain Sheila On 7 yang Jaki ceritakan,
Cokelat juga pernah hadir di gelaran ini. Seniman benderang macam kedua band
tadi, Mocca, The Dance Company, Tompi, Afgan, White Shoes and The Couples
Company, juga pernah hadir untuk sebuah event karya mahasiswa IPB. Sayangnya,
menurut kabar yang saya dengar, karena menghadirkan artis senior yang argonya
tidak murah, kas panitia jebol. Nah, sekarang kita ketemu satu lagi kemungkinan
penyebab kenapa di IPB ga ada acara gede: dana. Subsidi dari rektorat mungkin
terlalu minim, aktivitas pencarian dana ga bisa maksimal karena alasan yang
sudah disebut diatas, akses ke IPB Darmaga (yang diusulkan Jaki buat jadi Woodstock-nya
Indonesia) yang ga gampang karena sering macet, atau mungkin di IPB ga ada mahasiswa
yang mau mengorbankan mobilnya digadaikan (saya dengar, panitia sebuah event
musik kampus gede, ketuanya sampe harus berkorban sedemikian besar [mungkin
menurut dia kecil] biar acaranya sukses).
IPB mungkin terlihat sepi dari luar. Tapi kalau
kita menelisik lagi ke dalam kehidupan kampus, kegiatan seni kecil yang rutin,
masih hidup hingga saat ini. Saya yakin, FMF pernah melalui fase ini sebelum akhirnya
menelurkan event-event keren diatas. MAX!! juga terpaut dalam hubungan
perkawanan dengan organisasi musik APRES! dari ITB, Komunitas Musik Fikom (KMF)
di UNPAD, juga BSO band dari UI. MAX!! tentu akan sangat senang jika punya
sambungan silaturahmi juga dengan FMF di UGM. Di tahun 2010, MAX!! pernah
bermimpi menggagas forum yang menyatukan semua organisasi musik mahasiswa di
seluruh universitas di Indonesia, agar pergerakan mahasiswa tak hanya identik
dengan demonstrasi, tapi juga dengan karya musikal. Tentu juga agar kampus yang
belum punya ikon di dunia apresiasi seni, bisa sama-sama belajar. Semoga mimpi
utopis itu perlahan tampak tegas seiring saling tersambungnya simpul komunikasi
antar pegiat seni kampus.
Saya berharap sejawat pejuang seni di IPB
meneruskan iklim kampus yang kini ramai dengan dengung ampilfier. Perkaya aksi
musikal itu dengan nilai (sayang rasanya jika musik hanya digunakan sebagai
alat untuk menyatakan keakuan). Dukung terus musisi asal IPB—dengan
mengapresiasi karya musik mereka yang diantaranya sudah tersalur lewat album
kompilasi— sampai nanti ada yang namanya seharum Melbi misalnya. Lalu biarkan
dia jadi tuan rumah di kampus sendiri dan menjaga siklus kreatifitas agar tetap
berputar.
Rheza Ardiansyah
Alumni IPB
General Manager Music Agriculture
X-pression!! (MAX!!) 2010
Labels: agriaswara, gentra kaheman, IAC, ipb, max, musik, opini