Java Rockin'land 2011 (Hari Pertama)

Untuk yang ketiga kalinya Java Rockin'land kembali digelar di atas tanah yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pantai Carnaval Ancol Jakarta. Event akbar yang diorganisir Java Festival Production itu dihadiri para musisi dan penikmat musik dari dalam maupun luar Indonesia. Di hari pertama, lebih dari 40 pengisi acara telah sukses meramaikan gelaran itu.

Seringai dan closehead didaulat menjadi headliner acara. keduanya tampil di panggung terpisah dengan rentang durasi penampilan yang sama. Seringai masih tetap tampil dengan ruh pesan yang sama, protes atas kondisi sosial di sekitar mereka. Di Javarockinland 2010, kuartet oktan tinggi ini pernah menyanyikan sebuah lagu berjudul tifatul. Lagu itu berisi kritik atas ide sang menteri untuk menyikapi konten berbau porno di dunia maya. Seorang penonton merekam lagu itu dan mengunggahnya di youtube, sehingga Seringai makin lekat dengan citra antiislam. Arian membahas image baru seringai itu di panggung ketiganya di Java Rockinland. Menurut eks vokalis band legendaris Puppen itu, Seringai bukan antiislam, melainkan mereka tidak mau Indonesia ini menjadi Arab Saudi. Arian bahkan menantang audiens untuk merekam lagi ucapannya itu dan mengunggahnya lagi di Youtube. Tantangan itu saya terima. hehe. Saya merekam kritik Arian terhadap tindak poligami yang menjadi appetite sebelum Seringai menderu di 'Lagu Ini Tak Sependek Jalan Pikiranmu'.






Sementara itu di panggung lain, Closehead menghajar pendengar dengan lirik motivatif di lagu-lagu punkrocknya. Kondisi gitaris yang mengaku sedang tidak fit menghantarnya salah menyebut judul lagu. Permintaan maafnya atas kesalahan memainkan kord (yang sebenarnya tidak terasa) juga mengurangi optimasi penampilan mereka.


Beririsannya jadwal penampilan tiap band membuat pengunjung festival harus mengorbankan penampilan band lain yang sebenarnya juga sayang untuk dilewatkan. L'alphalpa yang tak jarang menjadi bahan gunjingan media musik dan Polyester Embassy yang baru saja melahirkan album baru adalah dua diantara sekian performer yang urung dinikmati. Saya langsung menuju panggung di area utama. Pas Band sedang menjajah JRL. Skuad pimpinan Yuki itu rupanya membawa banyak sekutu. Andy Volta, Munky 7 Kurcaci, Iwan Saint Loco, hingga gitaris bertopeng hijau yang belakangan diketahui bahwa ia adalah Baron. Aksi Bengbeng memutar gitar dan membelalakkan mata tentu masih menjadi menu wajib dari sang pioneer gerakan musik indie itu.

































Dalam ulasan Java Rockinland 2010, saya mengevaluasi diri untuk mendahulukan produk impor di festival ini. Bukan tidak nasionalis, keputusan itu diambil atas pertimbangan oportunistik. hehe. Akhirnya berlabuhlah saya di hadapan para bule bernama The Dirt Radicals. Punkrock sewarna Green Day adalah agama mereka. Percakapan atraktif menjadi dzikir yang bertubi mereka luncurkan.







Di perjalanan menuju We Are Scientist, saya mampir ke lapak Forgotten. Mereka tampil dengan nomor-nomor yang muncul di album terbaru, Laras Berlayar. Album itu akan dijual dengan buku yang ditulis sang vokalis. "Beli CD bonus buku atau beli buku bonus CD," demikian analogi yang dipaparkan Addy Gembel. Selama belasan tahun berlayar di samudra musik Indonesia, bahtera Forgotten masih dihuni awak yang sama.




We Are Scientist akan sangat orgasmik dinikmati oleh mereka yang juga nyaman dengan karya semacam yang digubah Franz Ferdinand, atau Arctic Monkeys. Sayangnya saya bukan termasuk si 'mereka' tersebut.



Panggung Propaganda yang terletak tepat di pinggir Laut Jawa menjadi tujuan selanjutnya. Mari, saya tunjukkan Alien Sick.Rambut gondrong, distorsi gitar dan kemeja motif kotak adalah atribut yang menggiring saya menuju kesimpulan bahwa dia adalah kakak seperguruan saya di pondok asuhan Kurt Cobain dan jajarannya.


Frozen on the 12 menarik perhatian saya yang sedang menuju panggung Blood Red Shoes. Gaya komunikatif, santai, namun tetap buas adalah kesan yang saya tangkap.

Sesosok wanita berukuran S itu dibungkus kaos Led Zeppelin lusuh ukuran XL. Seorang pria dengan rambut pirang mengiringi kedatangannya ke atas panggung. Si adam duduk di jok drum, si hawa mengalungkan telecaster dan menggantungnya di pundak. Lampu panggung mulai benderang, Blood Red Shoes siap menendang. Penampilan mereka terkesan padat karya, minim basa-basi. Sesekali Laura si gitaris merekahkan senyum setelah penonton melempar kalimat I Love You. Gangguan teknis sempat memutus penampilan mereka. Penonton mengiringi dengan riuh tepuk tangan saat teknisi dengan sigap mengoreksi minus. Saya pikir lagu akan diulang, nyatanya si gangguan tadi nyaris tak berarti apa-apa, teknik slide di fret gitar Laura-Mary Carter masih melesat-lesat tanpa rintang.



























Setengah jam sebelum pergantian hari, panggung yang akan diisi 30 seconds to mars sudah disesaki para echelon (sebutan untuk penggemar 30STM). Sementara itu Naif, The Changcuters dan Loudness beraksi di waktu yang bersamaan. Dua penampil tadi saya tonton sebelum trio pimpinan Leto yang ditunggu banyak orang tiba. Saat Naif tampil, saya berhasil mengabadikan momen yang pernah saya sesalkan tidak terabadi ketika Naif mengisi acara pentas seni SMA 1 Bogor. Momen yang saya maksud adalah lagu improvisasi berbalut reggae yang saya yakin tak bisa dinyanyikan ulang karena memang liriknya adalah ungkapan spontan sang frontman, David Bayu.





























































Ketika saya berada di perjalanan ke Ancol menuju pentas JRL bersama Oka, akun Twitter sebuah portal berita mengabarkan bahwa jadwal penampilan Thirty Seconds To Mars diundur karena ada personil yang ketinggalan pesawat, kepentingan keluarga menjadi latarnya. Akhirnya, 30 Seconds To Mars tampil di hari Sabtu, tepatnya 45 menit pertama hari Sabtu. Meski Diundur cukup lama, The Echelons tak beranjak dari posisinya. Area utama JRL tetap disesaki manusia. Penantian mereka itu dibayar dengan harga yang setimpal oleh pujaannya. Jared Leto tampil mendominasi dengan aksi-aksi yang tak sebelumnya diprediksi. Siapa sangka berpuluh audiens diundang ke atas pentas saat band yang namanya diambil dari thesis seorang profesor Harvard bahwa manusia bumi sudah sedekat 30 detik ke mars itu menyanyikan Kings and Queens. Jared juga mengalungkan sang saka merah putih di pundaknya. Balon merah raksasa dan hujan potongan kertas dari sisi panggung adalah kejutan lain penampilan si tiga puluh detik. Sesi one man show akustik yang ditampilkan Jared menurut saya terkesan main-main. Padahal The Kill atau bahkan From Yesterday akan sangat megah jika dibawakan dalam format sejatinya. Meski demikian, tak bisa dipungkiri penampilan Thirty Seconds To Mars berpeluang besar mencetak sunggingan senyum besar di wajah semua yang hadir.


Sebelum 30 Seconds To Mars mulai beraksi, audiens diajak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yukie Pas Band dan Tria Changcuters adalah komandan yang mengajak menyanyikan lagu itu.
































Rupanya 30 Seconds To Mars dan partai demokrat memiliki kode tangan yang sama :D


Labels: