Setelah bertolak bersama rombongan kecil sejawat dari kampus pertanian, kami bersembilan tiba saat Seringai menggeber festival musik terakbar seAsia Tenggara itu. Saya tiba di bibir panggung saat Psikedelia Diskodoom mengalun. Bada menyanyikan salah satu bahan album Serigala Militia itu, Arian13 yang tampil dengan kemeja bermotif bunga mulai bercurah pendapat. “Lagu selanjutnya adalah lagu baru, lagu tentang Tifatul Sembiring”, demikian ex-vokalis Puppen itu melakukan apersepsi. Menurutnya, Tiffsy (personal nickname Arian untuk sang menteri) terkesan pilih kasih dalam mendengar aspirasi dalam jejaring Twitter. Tidak setuju, block. FPI, rangkul. Demikian gelagat pak Menkominfo RI ia kisahkan. Tifatul Sembiring dikritik atas kebijakannya melakukan blokir terhadap semua situs porno yang dapat diakses di Indonesia. Arian tidak setuju dengan aksi itu. Menurutnya, eksotisme yes, pornografi no. Artinya ia setuju dengan pengurangan akses pornografi yang terbuka untuk anak dibawah umur minimal, tapi ia tak setuju bila media penayang kemolekan biologis itu ditutup total untuk semua kategori umur. PKS sucks. Begitu komentar yang Arian lempar atas partai yang pernah dipimpin pak menteri itu. Menurutnya, PKS ingin menjadikan Indonesia seperti di Arab. PKS mengarahkan telunjuk ke kondisi bangsa yang tak seperti mereka inginkan atas terjadinya bebagai polemik di negeri ini. Padahal menurut biduan bernama lengkap Arian Arifin ini, ihwal maraknya bencana, itu akibat posisi Indonesia yang sial. “Bahkan saat kiamat nanti, mungkin Indonesia ini yang akan hancur pertama kali”, tambahnya. Tapi sebelum kiamat mulai bergulir, Arian mengajak audiens untuk bersenang-senang dahulu di panggung itu. Arian mengumumkan bahwa judul lagu baru itu adalah Tifatul Sembiring. Tapi tunggu, setelah nama mantan presiden PKS itu didaulat menjadi judul lagu, kening Ricky sang gitaris berkerut, lalu terbit semacam ekspresi “hey lu ngomong apaan, ini ga ada di skenario”. Prolog berlanjut dengan iringan distorsi dan teriakan “Tiff…Tiffa…Tiffatul!”. Seiring mengalunnya lagu, warna muka gitaris seringai memerah, dan rona itu bertahan selama Tifatul Sembiring berkumandang.
"Tiff...Tiffa...Tiffatul"
Individu Merdeka!
Arian memang cukup buas mengkritik personal dari atas panggung. Dalam sebuah pensi yang diprakarsai SMAN 2 Bandung awal tahun silam, Arian bahkan mempersembahkan lagu Mengibarkan Perang untuk Roy Suryo. Saat itu Arian belum terlalu lengkap memberi penjelasan tentang kenapa Roy Suryo harus ia benci. Buntutnya, ada penonton yang lantang berteriak “Roy Suryo anjing!”. Apa penonton itu tahu siapa Roy Suryo? Apa dia paham kenapa Roy Suryo dirasa pantas disandingkan dengan kata anjing dalam satu kalimat? Mikrofon memang bak pedang bermata dua. Opini juru mic yang tidak diimbangi fakta justru mendidik audiens untuk berpikir dan bertindak secara buta. Lain halnya bila fakta yang dibeberkan. Keputusan tentang sependapat atau tidak menjadi sepenuhnya urusan pribadi, dan audiens diajak untuk berpikir.
Setelah kenyang dengan Seringai, saya melaju ke panggung berikutnya untuk menyaksikan Speaker First. Skuad rock n roll yang ganas itu berpesan agar audiens tak lupa untuk turut mendukung musisi asal negeri sendiri.
Benji & Joel Madden versi Indonesia
Ternyata begitu caranya agar akses mikrofon tetap mudah tanpa mic stand
Sing to your mouth
Vokalis baru Speaker First
Melangkah sedikit ke belakang arena Speaker First, saya tiba di panggung yang menampilkan Jolly Jumper. Saya juga berjumpa dengan Ucay Rocket Rockers yang di hari pertama festival harus memotong durasi tampil yang semula tersusun dari 9 lagu, menjadi 3 lagu karena panggungnya kebanjiran. Berlatar mega dan siluet pesawat, band yang namanya serupa kuda si koboy Lucky Luke itu tampil dengan kalimat selingan antar lagu yang monoton. Soal musik, band ini tetap membiaskan suasana seperti band-band emo lain. Namun jika dianalogikan dengan semangkuk mie bakso, penampilan Jolly Jumper petang itu kurang saus dan kecap karena suara scream tak terdengar sepanjang penampilan mereka.
Jolly Jumper kurang binal
Pesan sponsor
Saat Jolly Jumper menyanyikan Siklus Tanpa Arah sebagai penutup, beberapa orang terlihat berlari menuju sebuah panggung. Mereka tak mau melewatkan detik-detik penampilan The Vines. Band asal Australia itu tampil selama kurang lebih satu jam dengan menyuguhkan titel-titel andalan semacam Mrs. Jackson, Outtathaway!, hingga Get Free. Di penghujung penampilannya, sang vokalis melempar dan menghantam gitarnya ke drum.
Kiprah The Vines sempat tertunda akibat pengobatan sindrom autis sang vokalis
Akhiri dengan destruksi
Selanjutnya saya bertandang ke panggung yang menghadirkan Koil. Band dengan vokalis berambut panjang lurus itu malah berbagi hadiah. Dua pasang sepatu boots mereka berikan kepada 2 audiens yang beruntung berulang tahun di sekitar tanggal keramat 10-10-10 dan memakai kaos Koil atau Armada. Ya, Otong sang vokalis mengaku menyebut nama Armada bukan bermaksud mengejek, tapi Armada memang kawannya. “Sama-sama band sukses”, begitu katanya. Tak hanya boots, sebuah gitar pun Otong relakan untuk dibawa pulang seorang Killer (fans Koil) wanita. Biduan bernama lengkap Julius Aryo Verdijantoro itu menyatakan bahwa aksi bagi-bagi hadiah itu adalah salah satu upaya promosi dan bagi rezeki. Otong tentu tak lupa tugas utamanya di panggung itu. Nomor-nomor kenamaan macam Karat hingga Kenyataan Dalam Dunia Fantasi dibawakan bersama 7 lagu lainnya. Setelah mewarnai performanya dengan aksi destruksi gitar, Otong berpesan agar umatnya menjauhi narkoba, karena jika tertangkap polisi, biayanya mahal. Atau menurutnya, boleh menyimpan narkoba asal tak ada aparat yang tahu.
"Nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran"
Boots pertama dilepas
"Black Light" Shines On
Boots kedua direlakan
Gitar pun diikhlaskan
Arena berikutnya yang saya kunjungi adalah lahan yang digarap GRIBS. Kuartet berambut gondrong dan kribo itu tampil dengan performa maksimal. Bahkan di judul Rock Bersatu, Rezanov berbagi podium vokal dengan Dodi Hamson, sang juru suara Komunal. Salah satu hal yang menarik dari penampilan GRIBS adalah kehadiran ornamen di batang penyangga mic dan diatas bass drum. Entah apa kesan sebenarnya yang ingin ditampilkan dengan kehadiran penyangga ambing itu. apa itu artinya mereka playboy penakluk betina? Atau mereka hypersex yang juga berselera menikmati bungkus? Entahlah.
Dodi Hamson menemani Rezanov mengakhiri penampilan GRIBS
Apa perlu benda berwarna hijau dan jingga itu hadir di panggung band dengan musik yang kesan awalnya glamor?
Tak jauh dari panggung GRIBS, ada Royal Ego yang sedang beraksi. Mereka tampil dengan lagu yang temanya beragam. Topik-topik banal macam kaum buruh hingga kemacetan berhasil mereka bawakan bak dongeng puitis yang disampaikan oleh juru mikrofon yang berbalut syal berkombinasi topi khas Picasso dan penghayatan maksimum hingga slot geraham depan di rahang atasnya yang lengang bisa jelas terlihat.
Expressively Poetic
Kulu nafsin daiqotul maut. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Petikan ayat Quran itu terucap setelah sebuah lagu yang sarat dentuman dan distorsi bergemuruh. Tepat tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 jam 10 malam, Purgatory menebar hawa islami di JRL. Teriakan takbir riuh bersahutan di setiap sela lagu. Meski tampil dengan topeng dan cat muka, band metal satu jari itu istikomah melantunkan lirik-lirik religius Islam. Kisah Qurani tentang Nabi Yunus terbungkus rapi dalam Jonah. Pun demikian dengan Battle of Uhud yang menceritakan peristiwa perang di era nabi. Alunan puji untuk sang rasul ada di lagu MOGSAW, Messenger Of God Solallohu Alaihi Wasallam. Aksi Purgatory makin impresif dengan maraknya crowdsurfing beberapa personil.
Api pembersih dosa, Purgatory
Islam dalam irama distorsi
Dalam booklet jadwal tampil, harusnya Royal Ego dan Netral tampil di interval waktu yang sama. Padahal drummer kedua band itu adalah satu pria yang sama, Eno Gitara Ryanto. Royal Ego lalu bertukar jadwal dengan sebuah band minim distorsi namun tepat maksi dalam aksi. Mereka adalah The Trees And The Wild (TTATW). Awalnya saya tak berniat menyaksikan trio pejantan itu, namun tertundanya aksi Netral menjebak saya ke hadapan TTATW. Meski telah menyaksikan mereka sebelumnya di event lain, nyatanya saya tetap bertahan menikmati pencetak album Rasuk itu. Remedy dkk. benar-benar membius audiens yang kebanyakan wanita. Menyaksikan performa mereka adalah puncak orgasme musikal saya malam itu, terlebih ketika Derau dan Kesalahan mengalun syahdu. Teriakan “derau dan kesalahan dan penat” benar-benar menguapkan gemerisik noise, penyesalan atas kesalahan dan kebosanan aktivitas seminggu lalu.
As i say, orgasmic
Pasca menikmati aliran serotonin yang dipicu TTATW, saya melenggang ke panggung yang tadi sore dijamah Seringai dan kini digagahi Netral. Jenggot dan kumis tebal menjadikan Choki seperti tokoh di belakang manusia modern dalam skema perkembangan evolusi manusia. Bagus terlihat tetap prima meski tubuhnya mekar. Eno pun tetap tampil eksotis dengan permainan drumnya yang sarat variasi ketukan unik. Di akhir lagu Garuda di Dadaku, Choki dan Bagus turut menabuh floor tom, sementara sorak penonton menjelma menjadi suara latar.
"Kuyakin hari ini pasti menang"
Duet string
Netral turun panggung saat Superman Is Dead masih mengaum di panggung sebelah. Satu lagu tersisa sebelum trio asal pulau dewata itu mengucap perpisahan. Lagu itu didedikasikan untuk salah satu musisi senior Indonesia, Franky Sahilatua. Dengan line vocal yang diisi Eka Rock yang juga menjabat bassis, Kemesraan syahdu mengalun hingga bagian terakhir sebelum reff. Tapi hey, ternyata bagian reff diisi intro Jika Kami Bersama yang terus berlanjut hingga akhir lagu, baru kemudian lirik “kemesraan ini janganlah cepat berlalu” bisa didengar. Formula ini pernah saya cicipi di pentas seni anak SMA yang telah diceritakan di awal. Saat itu SID berbagi singgasana dengan raja-raja Jogja, Shaggy Dog.
Nobody's Perfect, Superman Is Dead
"Kemesraan ini janganlah cepat berlalu"
Saat Purgatory tampil, mereka sempat berdakwah tentang fitnah akhir jaman, tentang eksistensi Dajjal si mata satu, yang simbolnya sudah banyak bertebaran, bahkan menurutnya sudah banyak band yang bersimbol mata sebelah. Tanpa mereka duga, di panggung yang sama, beberapa jam setelah pernyataan itu terlontar, sebuah band dengan simbol satu mata di masing-masing bass drumnya yang sepasang menjadi band terakhir yang meramaikan JRL tahun ini. Sang penutup festival itu adalah Deadsquad. Titel-titel andalan dari Manufaktur Replika Baptis, Hiperbola Dogma Monotheis, Dominasi Belati hingga Horror Vision, khatam mereka lafalkan. Meski Bagus mengkhawatirkan stamina Choki saat mereka tampil atas nama Netral tadi, ex-gitaris Base Jam itu tetap menunjukkan cabikan maut di fret gitarnya saat unjuk aksi bersama Deadsquad. Begitu pula dengan Boni yang siang harinya tampil di Pasar Seni ITB besama Raksasa, pengahayatannya tetap maksimal. Soal konstan tidaknya ketukan drum serta menderunya bunyi alat pukul itu, tak usahlah rasanya kita ragukan Deadsquad. Begitu juga mutu raungan Daniel. Sepertinya dia punya 2 pita suara dengan karakter bunyi yang juga berbeda. Stevi Item? Dia bahkan jauh lebih “gondrong” dibanding saat menggenjreng di Andra & The Backbone. Menjelang lagu pamungkas, Daniel menyatakan salut atas antusiasme hadirin yang tetap mendukung musik setan. Hail satan, katanya. Perhelatan semu merah-hitam memang menarik di panggung satu ini.
Pasukan mati
Atas pernyataan musik setan Deadsquad tadi, saya tertarik untuk menarik informasi lebih dalam. Melalui Twitter, saya bertanya ke Boni. Bassis yang di Twitter dikenal dengan nama @bijiganja itu menyatakan bahwa intinya pernyataan Daniel tidak bisa digeneralisir ke Deadsquad. “Itu mungkin pendapat Daniel doang, gue cenderung ga peduli, gue Cuma mainin musik yang gue suka”, begitu pungkasnya. Saya lalu menceritakan kisah yang dituturkan Purgatory tentang mata satu. Bagaimana Deadsquad memaknai simbol itu? Boni mengaku tak tahu dan tak peduli dengan makna simbol mata satu, ia juga menyatakan tak percaya takhayul. Menurut bassis tanpa rambut itu, penggunaan simbol satu mata adalah salah satu alat dagang, sama seperti band sebelum mereka yang menggunakan dakwah sebagai alat dagang.
Di JRL 2010, ada 8 panggung yang hampir seluruhnya diisi penampil secara serentak. Hal itu tentu mengakibatkan tingginya Opportunity Cost, apalagi bila 2 atau lebih band yang wajib tonton, tak bisa kita saksikan karena waktu tampilnya yang beririsan. Demikian pula yang saya alami. Satelah puas dengan penampilan Royal Ego, saya menuju bibir sebuah panggung yang masih dipadati penonton, padahal arena artis telah gelap. Mereka meneriakkan satu kalimat yang sama, We Want More! Saya lalu bertanya pada seseorang, band apa tadi yang tampil? Mutemath katanya. Bahkan musisi yang baru lengser panggung itu menyuguhkan penampilan terbaik hari itu. Lemas rasanya setelah mengetahui bahwa saya telah melewatkan menu utama. Apalagi saat maraknya ulasan di media tentang betapa perkasanya Stryper dan Wolfmother yang tidak saya tonton, menyesal rasanya. Karenanya, saya berintrospeksi bahwa jika ada sebuah konser, maka pelajari dulu band-band yang akan hadir di pentas itu. Jika ada band internasional yang hadir, dahulukanlah untuk menyaksikan mereka. Kapan lagi bisa dengan langsung menyaksikan musisi kelas global? Selanjutnya, agar seni audiovisual bisa dikalibrasi menjadi seni visual, siapkan kamera dan baterai cadangan (karena masalah dengan catu daya, kamera tidak bisa saya gunakan. Kamera handphone yang kualitasnya lebih rendah akhirnya jadi pilihan). Terakhir, tempatilah posisi strategis di sekitar panggung, siapa tahu kita dikaruniai oleh-oleh gratis. Akibat tips terakhir tadi, saya beruntung membawa pulang 1 pick gitar Donijantoro Koil dan 1 stik drum Purgatory.
Secara keseluruhan, saya puas dan bersyukur bisa hadir di Java Rockin’ Land 2010. Karena kabarnya Metallica akan hadir di JRL tahun depan, mari menabung untuk Java Rockin’land 2011.
Bersama Rektivianto Yuwono THE SIGIT