Multatuli Abadi di Lebak

Seorang anak bermain di depan Taman Baca Multatuli. Saat kami berkunjung
ke sana, lagi musim durian. Harga per buah cuma sepuluh ribuan. Duriannya enak.

“Kang Ubai kami sedang dalam perjalanan ke sana. Acara klub bacanya dimulai jam berapa?”


Pesan singkat itu pun terkirim, namun tak berbalas. Rupanya kiriman pesan itu tak tiba ke ponsel orang yang saya maksud. Maklum, saat itu dia sudah ada di Kampung Ciseel, sebuah dusun di Kabupaten Lebak, Banten. Kita harus maklum dengan sulitnya koneksi tadi, karena memang daerah Ciseel tak mudah dijangkau. Selain sinyal ponsel, akses jalan ke sana juga belum tentu mampu dan mau dilalui semua orang. Gara-gara kesulitan akses itulah, saya deg-degan, takut telat dan melepas satu momen langka yang cuma ada sekali dalam dua minggu.





Kunjungan ke Ciseel, saya lakukan dalam rangka meliput aktivitas di Taman Baca Multatuli. Itu adalah lanjutan liputan dari Jerman yang membahas topik kesadaran literasi atau minat baca. Judul hasil liputannya: Ayo baca! Kampung Ciseel relevan dengan tema tersebut karena di sana, ada sebuah rangkaian ikhtiar unik yang digagas Ubaidilah Muchtar, seorang guru di SMPN Satu Atap 3 Ciseel. Di pedalaman Kabupaten Lebak itu, Ubai mengajar ngaji. Pengajian yang diampu Ubai bukan pengajian biasa. Lazimnya, yang dibaca dalam pengajian adalah kitab suci. Tapi yang ini, bacaannya novel Max Havelaar karangan Multatuli.
Anak-anak Ciseel sedang mengikuti permainan
yang dipandu Ubai
Taman Baca Multatuli lahir pada 2009. Kala itu Ubai mendapat tugas mengajar sebagai PNS di Kampung Ciseel, Lebak, Banten. Kepindahannya ke dusun berisi 75 kepala keluarga ini, diiringi dengan hijrah pulanya koleksi bacaan sang guru. Anak-anak Ciseel saat itu dibebaskan untuk mengacak-acak rak bukunya yang menumpang bertengger di rumah ketua RT setempat. Pada tanggal 23 Maret 2010, Ubai pun memulai aktivitas lain di taman baca itu: membentuk reading group atau kelompok baca.


Kelompok baca yang digelar Ubai, berisi ia dan anak-anak kampung Ciseel dan sekitarnya. Secara rutin, mereka mengaji novel Max Havelaar. Ketika saya datang ke Ciseel, kelompok baca itu tepat berusia lima tahun. Tak ada perayaan khusus selain aktivitas yang memang sudah biasanya demikian. Pembacaan novel dimulai sekitar jam 4 sore hingga maghrib tiba. Pada satu jam jelang kelas berakhir itulah saya akhirnya tiba, setelah resah kehilangan momen langka itu.





Jalan beraspal terakhir di kampung Cangkeuteuk, sebelum
melalui jalan berbatu menuju Dusun Ciseel
Dari Jakarta, perjalanan ke Kampung Ciseel bisa ditempuh selama sekitar enam jam. Jam 11 siang itu tim liputan saya baru benar-benar menempuh jalan menuju Ciseel. Di persimpangan menuju Pasar Ciminyak, kami beristirahat sekitar selama satu jam. Setelah bertanya ke sana-sini, dan secara tak sengaja bertemu Hendra Adi, mantan kru mobil satelit Metro TV. Ia baru saja berhenti dari pekerjaan itu, dan memulai usaha lain di kampung halamannya, Ciminyak. Dipandu Adi, kami pun tiba di Kampung Coo. Tangis dan teriakan histeris menyambut kedatangan kami. Rupanya di saat yang sama, warga digegerkan dengan kematian seorang petani di saung sawahnya. Ia ditemukan tewas tergantung. Di dusun Coo itulah mobil kami berhenti. Mobil sebenarnya bisa masuk hingga dusun Cangkeuteuk. Tapi menitipkan mobil di rumah lurah di Coo sudah tepat, sesuai rekomendasi Kang Adi. Perjalanan kami pun berlanjut menggunakan ojek selama sekitar 45 menit. Jalan menuju Ciseel memang rusak. Batu semua dan sempit. Kasihan sekali motor matic yang dipakai tukang ojek itu. Bahkan, ban motor yang ditunggangi Wildan sempat kempes. Jalur yang dilewati menuju Ciseel adalah tepian lereng yang berbatasan langsung dengan jurang dalam menganga dan tepian sungai. Tapi pemandangan dari sana, luar biasa indah. Kalau senggang, saya pasti menyempatkan meraup bening air di sungai. Tapi itu tadi, saya harus segera tiba di Ciseel, sebelum aktivitas kelompok baca berakhir.


Sungai di Kampung Cangkeuteuk digunakan warga
untuk berbagai keperluan.
Kelompok baca Multatuli yang awalnya digelar saban sore, kini jadi tiap senin atau selasa sore. Itu pun sekali dalam dua minggu. Maklum, Ubai menjalaninya sambil menempuh pendidikan magister di Universitas Pendidikan Indonesia. Meski demikian, taman baca yang kini tak lagi menumpang di rumah Pak RT, tetap bisa dimasuki anak-anak Ciseel untuk mereka membaca. Minat baca anak-anak Ciseel memang terlihat mencengangkan. Bahkan anak-anak yang belum bisa baca saja ikut hadir di pengajian Max Havelaar. Mereka ikut mengucap ulang kalimat-kalimat yang dibacakan Ubai.

“Itu apa tidak terlalu berat anak-anak baca buku seperti itu?” saya bertanya kepada Ubai.

“Saya kira berat atau tidak, itu tergantung konteks kita orang dewasa. Ini membaca pelan-pelan, super lelet, maka tidak terlalu berat karena dijelaskan. Satu pertemuan dua jam paling hanya tiga halaman.”

“Satu kali tamat buku berapa lama?”


“Tahun pertama tamat 37 pertemuan (selama) 11 bulan, kemudian tahun kedua dua tahun lima bulan. Jadi pembacaan pertama 11 bulan kemudian baca lagi dari awal, dua tahun lima bulan kemudian baru tamat. Jadi pembacaan pertama maret 2010 sampai februari 2011, pembacaan kedua mei 2011 sampai agustus 2013.”


Wildan dan Yansa harus turun dari motor karena
tanjakan yang terlalu curam dan jalur berbatu
sulit dilalui motor yang ditumpangi berboncengan
Saat itu, pembacaan Max Havelaar di Taman Baca Multatuli sudah mencapai repetisi ketiga, sekitar halaman seratus sekian. Sekilas saya turut serta dalam proses pembacaannya. Saya juga mengamati aktivitas tambahan lain selain membaca Max Havelaar. Anak-anak Ciseel diajarkan Ubai berbahasa Inggris. Mereka sudah bisa memperkenalkan diri dalam bahasa internasional itu. Mereka pun diperkenalkan ke berbagai kosakata baru. Selain itu, mereka juga diajarkan untuk menulis. Anak-anak dibekali buku tulis yang nantinya mereka isi dengan kegiatan harian dan pemikiran mereka masing-masing.


“Bahkan ada yang lucu. Ketika orang tua mereka berselisih paham, mereka menuliskannya. Jadi mereka tidak perlu marah juga ketika ada pertengkaran, tapi bisa melalui tulisan. “ Maghrib tiba, kelas bubar, anak-anak lanjut mengaji Al Quran di masjid.


Malam tiba di Kampung Ciseel. Tapi gelap, bukan lagi deskripsi tunggal untuk malam di dusun itu. Sejak dua tahun terakhir, Ciseel mengenal listrik. Sejak itu pula, warga Ciseel akrab dengan televisi dan berbagai tontonannya. Bagi perkembangan minat baca anak, tontonan tak cocok di televisi, bisa jadi boomerang tersendiri. Ditemui ketika hadir di gelaran Leipzig Book Fair, sastrawan Goenawan Mohamad menganalisa musuh utama minat baca.

Jurang, sungai, sawah, gunung, mengiringi perjalanan menuju Ciseel

“Ya waktunya tidak ada untuk membaca. Boleh nonton televisi kalau berita. Tapi kalau 6 jam di depan televisi nonton sinetron, menurut saya itu tidak mencerdaskan bangsa.” Ujar pendiri Majalah Tempo itu.


Kami tiba di Kampung Ciseel. Jika kita terus
menempuh jalan ini, dilanjutkan berjalan kaki. kita akan
tiba di perkampungan Baduy Dalam.
Beruntung, anak-anak Ciseel tak sekencanduan itu dengan televisi. May, seorang anak Ciseel yang saya tanya, mengaku paling menghabiskan cuma setengah jam sehari di depan TV. Begitu juga dengan Cecep, yang cuma menonton sebelum tidur. Cecep juga rajin menyimak tayangan berita. “Dana APBD Ahok,” jawabnya ketika saya tanya berita terbaru apa yang dia ingat. Pengakuan anak-anak Ciseel diamini salah satu ketua RT di Ciseel, Uding Somantri. “Kalau sudah ada listrik banyak tontonan, tapi tidak mengganggu aktivitas baca di multatuli,” ujarnya meyakinkan. Uding juga mengaku bersyukur dengan adanya Taman Baca Multatuli, meskipun asupan bantuan tenaga untuknya bertani di hutan dan ladang, berkurang. Ubai sendiri punya analisa tentang televisi yang menandingi buku di hati anak-anak Ciseel. “Yang dirasakan tidak terlalu berat karena fondasi anak-anak sudah ada sejak 2009. Jadi mereka basic-nya kuat. Enam bulan ada TV mereka senang sekali, tapi taman baca tetap ramai.” Ubai dan tokoh dusun Ciseel juga punya sebuah cara untuk mengarahkan anak-anak ke tontonan yang baik. Mereka menggelar layar tancap.


Kain putih polos dibentangkan melintangi jalan. Pengendara motor yang melintasi jalan dusun pun harus merunduk agar jalannya tetap lancer. Tapi mereka seakan maklum dan paham. Senyuman yang dibarengi anggukan jadi pertanda bahwa ini biasa. Sebelum penayangan film dimulai, saya ikut berhimpun di kerumunan anak-anak yang bertengger di batu-batu pinggir jalan. Seorang anak bernama Jujun bangga memperlihatkan bekas luka di pelipisnya. Katanya ia jatuh di masjid ketika kecil. Padahal saat bicara, ia juga masih begitu kecil. Umurnya mungkin lima atau enam tahun. Atau malah mungkin empat. Jujun sendiri tak yakin dengan usianya. Haha. Jika ketika mengunjungi baduy dalam, Asda jadi anak favorit saya, kali ini Jujun-lah idola saya. Dia berani. Anak lain yang lebih tua masih membentengi diri dengan gelagat malu saat ditanya orang asing, atau berekspresi di depan umum. Si kecil Jujun ini, melontarkan celetuk kocak ketika anak-anak terkesima dengan heli cam yang dioperasikan Wildan. “Itu meuli?” katanya jujur, bertanya apakah benda terbang itu hasil membeli di suatu tempat. Jujun pun tak takut ditertawakan teman-temannya. Ketika belajar bahasa Inggris, ia merelakan diri berdiri di hadapan anak-anak lain. Dengan penuturan yang samar, ia tetap berani berucap “My name is Jujun”. Perhatian saya juga tertuju ke jawaban anak-anak yang siap menonton itu. Saya bertanya tentang cita-cita mereka. Ada yang ingin jadi guru, presiden, pilot kapal terbang, bahkan ada yang mau jadi jaro (pemimpin adat).


Malam itu film Lima Elang tayang. Tak hanya anak-anak, orang tua mereka pun ikut menonton dari teras depan rumah. Gelak tawa pecah ketika adegan kocak tampil. Komentar-komentar singkat juga terlontar setelah liukan kisah dimunculkan. Perlahan-lahan, jumlah penonton berkurang. Giliran Ciseel beristirahat.


Wildan saat mengoperasikan heli cam miliknya. Suara
baling-baling sempat membuat anak-anak di Taman Baca
kehilangan konsentrasi membaca Max Havelaar
Tim liputan kami ikut menginap di ruang perpustakaan Taman Baca Multatuli. Di situlah Ubai menginap saat ia mengunjungi Ciseel. Rumahnya sebenarnya di Depok. Di sana ia tinggal bersama teman kuliah ketika menempuh pendidikan sarjana yang kini jadi istrinya. Sebelum tidur, kami berbincang banyak hal. Saya ceritakan bahwa terakhir kali saya baca Max Havelaar, adalah tahun 2011. Itu pun tak tamat. Hehe. Entahlah kala itu mood saya belum kondusif untuk Max Havelaar, sampai sekarang. Haha. Ubai pun secara singkat menjelaskan tentang isi novel legendaris itu. Dia sampai hafal di bab berapa kisah ini ditulis, di halaman mana penjelasan tentang itu dipaparkan.


Max Havelaar berkisah tentang seorang pria bernama Batavus Droogstoppel, atau Batavus si gersang hati. Ia adalah seorang saudagar kopi di era kolonial. Ia ingin dibuatkan buku tentang pelelangan kopi oleh perusahaan dagang Belanda. Maka ia meminta Ludwig Stern untuk menuliskannya. Dalam proses pembuatan buku itu, Stern malah menulis tentang hal lain. Mulai Bab 5 novel tersebut, Stern mengisahkan tentang seorang asisten residen atau bupati Lebak bernama Max Havelaar. Max Havelaar ini sebenarnya adalah Multatuli alias Eduard Douwes Dekker sendiri. Kala itu, masyarakat Lebak ditindas dua kekuatan sekaligus. Selain diwajibkan aturan tanam paksa atau cultuur stelsel oleh pemerintah kolonial Belanda, warga Lebak juga menderita karena sistem sosial yang membelit mereka sendiri. Adalah Adipati Karta Nata Nagara, regen atau bupati Lebak yang juga menguasai wilayah itu. Di akhir abad ke-19 itu, sistem pemerintahan Lebak memang dikuasai (dan ditekan) dua penguasa secara bersamaan. Stern mengisahkan sebuah contoh, bahwa jika sang adipati tertarik dengan sebuah kerbau milik rakyat yang dilihatnya, maka mau tak mau kerbau itu harus direbut dari pemilik aslinya. Max Havelaar, meski berasal dari pihak kolonial, menentang penindasan semacam itu. Stern (yang diminta menulis oleh Batavus) juga menyisipkan kisah romantik-tragis Saijah – Adinda dalam buku karangannya. Cerita Saijah-Adinda disebut-sebut sebagai Laila-Majnun-nya Lebak tempo dulu, Romeo-Juliet-nya era kolonial. Di akhir bab novel Max Havelaar itu, Multatuli yang dalam bahasa latin berarti “saya telah banyak menderita”, membuka identitas aslinya. Dengan demikian, dalam novel Max Havelaar, seakan-akan ada tiga narator: Batavus, Stern, dan Douwes Dekker sendiri si penulis asli. Indah bukan?


Akmal damai tertidur di pangkuan kakaknya.
Kemana pun sang kakak pergi, pasti Akmal
mengikuti. Termasuk ketika ia menghadiri
pembacaan Max Havelaar. Meskipun belum
bisa baca, Akmal dan anak-anak lain yang
juga belum mengenal literasi, tetap hadir
dan menyimak.
Selain berbicara tentang Max Havelaar, saya pun baru tahu tentang jaringan kelompok baca yang diikutinya. Kelompok Baca Multatuli, ternyata bukan satu-satunya. Setidaknya, ada sembilan kelompok baca yang saya catat berdasarkan paparan Ubai:


  1. Di Kendal Jawa Tengah, komunitas Pondok Maos Guyub membaca Old Man And The Sea (Ernest Hemmingway) dan Ronggeng Dukuh Raruk (Ahmad Tohari). 
  2. Di Jember Jawa Timur, komunitas Tikungan membaca Gadis Jeruk (Jostein Garner)
  3. Di Kediri Jawa Timur, komunitas Jambu membaca Jalan Raya Pos Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer)
  4. Di Serang - Banten, komunitas Rumah Katak membaca Laskar Pelangi (Andrea Hirata)
  5. Di Jogja, komunitas Indonesia Buku membaca Kitab Primbon Jogja (Beta Lejemur Adamakna)
  6. Di Victoria Park - Hong Kong, komunitas Teater Angin membaca Animal Farm (George Orwell)
  7. Di Bandung, komunitas Ultimus membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
  8. Di Cikarang – Bekasi, solidaritas.net membaca Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
  9. Di Facebook komunitas reading group yang dimoderatori Tanzil Hernadi, membaca Ibunda (Maxim Gorky)


Anak-anak Ciseel bebas memilih bacaan yang mereka suka
Pembentukan kelompok baca di Ciseel, Ubai yakini bukan hanya sebuah upaya meningkatkan minat baca. Lebih dari itu, ada sesuatu yang ingin ia tanamkan di dalam benak anak-anak Ciseel. “Minimal mereka mencontoh tiga sifat khas Multatuli: pertama peka dengan ketidakadilan. Kedua mereka tahu jika ketidakadilan terjadi mereka harus berbuat apa, dan yang ketika dia pandai menulis. Nah anak-anak di sini tentu tidak harus seperti Multatuli. Tapi minimal nilai-nilai itu bisa menjiwai kehidupan mereka. Tidak mengambil hak orang lain, berkuasa tidak disalahgunaakn, amanat harus disampaikan, dan tidak boleh korpusi. Di (novel) Multatuli ada kata ‘korupsi’.”



Sementara persoalan minat baca di Kampung Ciseel menemui solusinya, hadangan lain siap menghampiri. Mimik muka Uding Somantri berubah ketika ia mengingat anaknya. Ia khawatir membuncahnya minat baca dan belajar anak Ciseel, tak diiringi kemampuannya membiayai sang anak untuk sekolah setinggi mungkin. []

Saya berfoto bersama Ubai dan anak-anak Ciseel sebelum kami berpisah.
Suatu hari nanti, saya ingin ke sana lagi


Saya dihadiahi oleh-oleh novelet Saija. Isinya kisah Saijah-Adinda yang ada di novel Max Havelaar.
Buku versi bahasa sunda ini dicetak pertama kali tahun 1932. Kang Ubai mendapatkan novelet ini dari Cornell University

Labels: , , , , , , ,