Malam belum
sempurna hadir di Desa Cibeo. Sabtu senja itu saya ada di salah satu dari tiga
desa suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Banten. Langkah saya yang telanjang tertatih-tatih menginjak batu bercampur
tanah basah bekas hujan tadi siang. Tak lama saya kemudian tiba di ujung
perkampungan. Jika belok kanan, saya akan mentok di sebuah rumah beralas hijau rumput
segar. Esoknya tahulah saya (setelah ditegur karena berjalan ke sana) bahwa itu
rumah pupuhu alias penghulu suku Baduy Dalam yang dilarang dikunjungi sembarang
orang, apalagi tamu dua hari seperti saya. Sebuah kericuhan samar terdengar
dari arah berlawanan. Ricuh riang suara anak bermain dan kecipak air. Tiba di
sumber suara, saya disambut sebuah jembatan bambu. Di bawahnya belasan anak
telanjang bulat berenang lincah dan saling ciprat air. Di atas mereka, di
tengah jembatan, berdiri bisu seorang seusia lainnya. pria mungil berbaju hitam
bermata cokelat bernama Asda.
Mukanya sedikit
mendongak ketika menjawab pertanyaan. Jawabannya pendek untuk tiap butir
keingintahuan saya. Asda mengaku berusia 11 tahun. Saya gak langsung percaya.
Anak ini bicara dari tubuh yang baru terlahir sekitar 6-8 tahun lalu.
Sekelompok tamu desa semacam saya melintasi jembatan sambil menyapa si terkenal
Asda. “Asda kok udah di sini aja”, begitu kira-kira ungkapan mereka takjub.
Rupanya bocah satu ini sempat mengiringi perjalanan masuk para pengunjung desa.
“Asda kunaon teu ngojay?” tanya saya tentang tak bergabungnya ia di bawah sana.
“Teu bisa”, katanya singkat. Jawaban dua kata serupa tadi diulangnya untuk
pertanyaan lain.
“Asda rek ka
Jakarta moal?”
“Teu kuat”,
jawabnya setelah geleng kepala.
“Rek ka Inggris
moal?”
“Teu meunang”,
katanya tegas entah dia paham atau tidak tentang kata Inggris.
“Ka Amerika?”
“Teu apal”,
jawabnya jujur mengaku tak tahu tentang Amerika.
Orang Baduy
dikenal sebagai pengembara. Tapi pengembaraan mereka biasanya tak jauh. Itu
terjadi karena mereka dibatasi. Mereka dibatasi larangan menumpang kendaraan
jika bepergian, sehingga jarak tempuh pun otomatis terbatas. Biasanya Jakarta
jadi tujuan pelesir mereka. Misinya beragam rupa, dari berdagang, hingga
tamasya. Asda kecil mungkin berpikir realistis. Tubuh mungilnya baru mengenal Terminal
Ciboleger sebagai perantauan terjauh. Ciboleger adalah lokasi terakhir
pengunjung Baduy bisa menggunakan kendaraan bermotor. Jaraknya sekitar dua jam
perjalanan dari terminal Rangkasbitung. Untuk menuju Baduy Dalam, pengunjung
perlu waktu 5-6 jam perjalanan tanpa kendaraan melalui perkampungan Baduy Luar.
Setelah melewati sebuah jembatan dan tanjakan panjang bernama Tambayang, aturan
Baduy Dalam mulai mengikat. Aturan paling relevan dengan “orang elektronik”
macam kita adalah larangan mengoperasikan alat dokumentasi.
Saya kembali
berdiri bersama Asda. Kali ini ia menjelaskan hal-hal yang menempel di
badannya. Pisau yang bertengger di pinggangnya Asda akui digunakan buat “motong
tangkal”, potong pohon/kayu. Lalu kain yang menjuntai lemas di lehernya itu, ia
sebut tali kung, tali yang lazimnya diikatkan di kepala seorang Baduy.
Pertanyaan saya kembali bergulir. “Teu meunang”, kata Asda menjawab pertanyaan
saya soal warna baju. Teu meunang artinya tidak boleh. Orang Baduy Dalam
dilarang berpakaian warna lain selain hitam atau putih. Jika kamu tanya kenapa,
maka jawaban mereka akan merujuk pada apa kata leluhur mereka. Jawaban serupa
“sudah dari dulu begitu”, atau “nanti dimarahi pupuhu” akan terlontar.
Setidaknya itu yang saya alami ketika bertanya tentang kenapa alat dokumentasi
diharamkan disini.
Jembatan
Ciparahyang mulai diselimuti gelap yang lebih pekat. Saya artinya harus segera
memuntahkan pertanyaan terakhir untuk Asda. “Asda cita-citana jadi naon?” saya
bertanya tentang cita-cita. Muka bulatnya kembali mendongak, kali ini lebih
terangkat. Ia bingung menjawab. Cukup lama diam berpikir, dengan tersipu ia akhirnya
menjawab satu kata: “kaya”.
Satu persatu
bocah perenang yang semula asik berbasah ria bergabung. Kami kemudian bermain
adu hitung. Asda tak mahir di bidang ini, malah anak lain yang bisa menjawab
ketika saya bertanya tentang urutan angka dan tetambahan. Obrolan kami pun
berakhir ketika pekatnya senja sudah betul-betul menyulitkan pandangan. Satu
persatu samar pelita dari dalam rumah beratap daun tanpa tembok bersemen itu
bersinar. Ke arah sanalah belasan anak itu kemudian berlari, masih dengan tawa
riang yang tak pernah lepas mereka sandang. []
Labels: baduy, banten, cibeo, kanekes, lebak, travel, traveling