Manis Getir Skripsi: Batal Bimbingan

Hari Selasa sebuah SMS masuk dari kak irvan, isinya ajakan untuk mengikuti workshop perfilman yang diadakan hari kamis di jakarta, gratis dan terbatas untuk 15 orang serta mendatangkan pembicara dari sebuah komunitas kreator film. Saya yang sedang menggemari seni gambar bergerak itu tentu tergiur. Maka bulatlah tekad saya untuk menghadiri gelaran itu bersama kak irvan yang jadi sumber informasi tentang acara itu.

Esok harinya, kak irvan mengabarkan bahwa ia urung hadir. Tak mengapa saya pikir, besok saya akan tetap berangkat. Sementara itu di lain kesempatan di hari yang sama, saya bertemu dengan dosen pembimbing yang menjanjikan esok harinya untuk melaksanakan diskusi hasil penelitian, saya pun mengiyakan. Sore di hari rabu itu saya baru sadar bahwa besok ada pelatihan film yang akan saya hadiri, kenapa saya malah mengiyakan rencana pertemuan dengan dosen pembimbing? Dari momen itulah kisah ini bermula. Demi sebuah pelatihan film yang digelar sebuah perusahaan itu saya mohon izin kepada dosen pembimbing untuk pergi kesana dan membatalkan pertemuan membahas hasil penelitian.

Sebenarnya saat itu saya ragu apakah keputusan yang saya ambil ini tepat atau tidak. Karenanya pagi-pagi sekali saya sudah stand by di depan ruang dosen untuk berkonsultasi tentang hasil penelitian, setidaknya sebelum saya berangkat ke ibu kota tugas utama saya juga terselesaikan. Sayangnya, hingga waktu keberangkatan, saya gagal menemui beliau, akhirnya melajulah saya ke kebun ilmu perfilman yang siap panen itu.

Meski batal hadir bersama saya, kak irvan ternyata berbaik hati meminta tolong temannya untuk mengantarkan saya ke lokasi pelatihan setelah saya tiba di terminal Lebak Bulus. Saya lalu melakukan konfirmasi ke teman kak irvan itu bahwa sekitar satu jam lagi saya tiba di Lebak Bulus. Ternyata beliau berhalangan mengantar saya. Untuk menuju lokasi, saya lalu bertanya ke panitia. Jam tangan saya menunjukan bahwa satu jam lagi acara akan dimulai, sementara saya baru sampai di Lebak Bulus. Untuk menuju lokasi pelatihan dari terminal itu, saya harus menempuh perjalanan dengan metromini, kemudian menunggangi ojek. Metromini yang saya tumpangi menghabiskan 1 jam 30 menitan untuk menuju lokasi yang saya tuju. Ya, artinya saya telat. Sebenarnya saya sudah ragu untuk melanjutkan. Pasalnya saya sudah mengorbankan 4 jam perjalanan berangkat dan mungkin akan membuang durasi yang sama untuk pulang demi 2 jam yang belum tentu senilai dengan apa yang akan saya dapat. Terlebih setelah mengetahui ongkos naik ojek ke lokasi yang hampir dua kali lipat ongkos bis bogor-jakarta. Lama saya memikirkan mana yang terbaik, kembali pulang karena acaranya pun sepertinya sudah mulai dan saya khawatir tidak bisa masuk, atau tetap kesana dengan korbanan uang, waktu dan tenaga lebih demi sesuatu yang belum tentu senilai dengan biaya korbanan yang dibayarkan. Akhirnya saya naik juga ke ojek itu, masih dengan kalkulasi untung-rugi materil dan non materil yang beroperasi di otak saya. Baru beberapa meter motor melaju, saya minta berhenti. Haha. Konyol memang, rasanya saya hanya akan buang waktu kalau memaksakan kesana. Saya lalu turun dan menawarkan ongkos untuk jarak sekian meter ke pak ojek. Beliau menolak, dan tentu saja kecewa. Saya lalu menunggu bis menuju Lebak Bulus. Beberapa menit kemudian, saya panggil si bapak ojek tadi dan kami benar-benar berangkat menuju lokasi pelatihan karena bis yang saya tunggu lama tak kunjung hadir. Belasan menit kemudian, saya tiba di lokasi acara dan mendapati kegiatan itu terkena sindrom akut yang selalu diidentikan dengan kegiatan-kegiatan yang digelar di/oleh orang Indonesia, sindrom jam karet.

Setelah solat dan melakukan registrasi saya lalu menunggu lagi beberapa jenak hingga akhirnya acara dimulai setelah melewati rentang satu setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Acara dimulai dengan beberapa permainan dan pembagian hadiah berupa produk dari perusahaan penyelenggara. Mata acara selanjutnya adalah promosi produk terbaru yang dirilis si perusahaan. Saya lalu sadar, kegiatan ini rupanya promosi yang dihiasi diskusi tentang topik bernama film pendek dan film dokumenter. Karena bertitel workshop, awalnya saya mengira acara akan berisi pemaparan teknis tentang pembuatan sebuah karya film, bahkan sampai pembuatan karya yang benar-benar bisa langsung dinikmati. Nyatanya tidak, pemaparan pemateri masih berkutat di hal-hal yang ada di permukaan. Meski demikian, saya tetap harus bersyukur karena beberapa hal dasar yang harusnya sudah dikuasai, ternyata baru diketahui di gelaran itu, seperti pengetahuan tentang treatment naskah film, atau tentang dokudrama yang baru saya ketahui maksudnya apa, padahal saya pernah membuat dokudrama itu disini. Hehe. Meskipun acara itu tidak dimulai pada waktu yang dijanjikan, tapi ujung acara diakhiri di waktu yang seperti dinyatakan dalam materi promosi (sepertinya ngaret juga sudah dimasukan ke dalam agenda acara dan dijadikan mata acara pembuka :p). Saya lalu bergegas menyantap snack, solat ashar dan menghabiskan tiga jam di perjalanan pulang ke bogor.

Rentang satu setengah jam itu ternyata harus saya bayar dengan sekian kali lipat durasi waktu acara untuk ditempuh selama perjalanan. Saya juga harus membayar beberapa lembar rupiah dan sekian Joule yang tidak sedikit. Ya, saya mendapat pelajaran berharga setelah menyadari perbandingan itu. Namun saya juga harus lihat sisi positif dari 'pelajaran praktik' ini. Jika manajemen sumber daya sebelumnya dipelajari secara teoretis, maka melalui pengalaman diatas saya menjalani sesi praktiknya, ternyata begitulah buah dari perhitungan yang belum matang. Saya tentu saja tidak boleh melewatkan ribuan detik itu berlalu sia-sia. Selama perjalanan saya tak henti melahap novel Keydo hingga akhirnya hari itu khatam dan ulasan ini bisa dibuat. Ya, anggap saja bonus dari praktikum hari itu adalah tamatnya novel yang saya pinjam dari Arin itu. Wah, ternyata dibalik hal yang terlihat merugikan selalu ada sisi positifnya yah. Betul, begitulah hidup. :D

Bonus foto-foto yang saya ambil di perjalanan dan lokasi kegiatan:





Labels: