Keydo


Buku yang terakhir saya baca adalah novel berjudul Keydo. Keydo adalah buah karya bunda Tatty Elmir. Novel itu menceritakan kisah seorang wanita bernama Keydo yang digambarkan dengan begitu inspiratif. Novel 380 halaman itu bercerita tentang perempuan, cinta dan para pahlawan di jalan sunyi. Perempuan yang dimaksud dalam novel itu diantaranya adalah Ibu Roos, Mama Dobon, dan tentu saja Keydo serta banyak tokoh-tokoh wanita lain yang begitu inspiratif. Tak hanya perempuan sebenarnya, semua tokoh dalam tokoh ini digambarkan dengan sikapnya yang perlu diteladani. Berikut saya paparkan pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari novel itu:

Budaya
Budaya minang dan papua begitu fasih dijelaskan disini, bahkan sampai menyeberang ke Amerika sana, ke baduy-nya orang Amerika yang sarat dengan nilai kesederhanaan.

Paradigma baru
Novel ini juga menawarkan pembaca paradigma baru dalam menyikapi suatu hal. Misalnya ketika nenek yang biasa mendongeng untuk Keydo dan teman-temannya tidak suka dengan legenda Malin Kundang. Belakangan terungkaplah bahwa si nenek tidak menyukai sikap ibu Malin yang begitu mudah main kutuk-mengutuk, padahal jelek/bagus seorang anak justru karena ibu/orang tuanyalah yang mendidik.

Menambah pengetahuan
Pembaca juga disuguhkan informasi-informasi tambahan dengan pemakaian istilah dari berbagai bidang keilmuan yang penjelasannya ada di footnote di halaman yang sama.

Pencarian pasangan
Sebenarnya banyak sekali nilai-nilai luhur yang bisa kita petik dari novel ini, namun saya beru sadar untuk mencatat posisi kearifan dalam peta dunia novel itu setelah tiba di pertengahan buku. Di sektor awal novel, penjelasan filosofis tentang pencarian jodoh dijelaskan secara holistik, tak hanya dilihat dari sisi warna pink saja. Menurut novel ini, ketahanan negara akan bermula dari ketahanan keluarga, sementara ketahanan keluarga akan ditentukan melalui kualitas proses pencarian jodoh. coba tengok halaman 267. Disana dijelaskan bagaimana prinsip Kinang yang rela berjibaku demi mendapatkan hati Keydo. "Mutiara berkelas hanya akan diraih jika kita mengusahakannya dengan totalitas," begitu petikan dalam novel yang menggambarkan bahwa untuk mencapai sang pujaan hati memang dibutuhkan usaha yang tidak sedikit. Pemaparan di dalamnya akan memperkuat perjuangan para pria yang sedang memperjuangkan diri untuk calon wanitanya dan membuat pria yang telah jatuh-bangun untuk wanita yang telah ia dapat untuk bersyukur. "Beratnya perjuangan akan setara pula nantinya dengan besarnya komitman," demikian paragraf motivatif itu ditutup. Penulis juga memberi bocoran mantra sakti di halaman 321. "Kinang tahu persis, wanita adalah makhluk yang mudah terpengaruh dengan ekspresi verbal, mudah terpesona dengan kata-kata, dan akan selalu terkenang dengan kalimat indah. Karena itu wanita mudah dirayu". Ya ya, now we see. :D

Ganti lirik lagu
Beberapa waktu lalu saya bersama Mas Mo berkunjung ke kediaman keluarga bunda Tatty Elmir, penulis novel ini. Rumah yang juga menjadi base camp para aktivis Forum Indonesia Muda (di novel itu Zamrud Khatulistiwa menjadi semacam analogi fiktif dari FIM) itu terasa hangat dengan gelak tawa dan nyanyian merdu serta lantunan musik pengiring. Para aktivis yang berkumpul disana memang sering berkespresi di sela mempersiapkan kegiatan-kegiatan yang mereka rencanakan atas nama FIM. Di suatu kesempatan, kami menyanyikan lagu Cintaku milik Chrisye. Di sebuah penggalang liriknya, lagu itu berbunyi "indahnya, nikmat bercinta". Saat semua bernyanyi, bunda kami itu melantunkan lagu dengan lirik berbeda. "indahnya, kumpul bersama," lantunnya.

Gambaran kehati-hatian bunda Tatty dalam menyanyikan sebuah lirik lagu juga tergambar di novel Keydo. Di paragraf akhir halaman 303, Kinang menolak tawaran Keydo untuk menyanyikan lagu 'You Light Up My Life', 'You are My Everything', atau 'Bulan Tolonglah Beta' karena lagu itu menurut Kinang musyrik. Sekali lagi, pembaca belajar untuk tidak meremehkan departemen lirik dalam sebuah konstruksi lagu. Lirik memang bukan hanya pewarna nada. Pesan di dalamnya tak jarang justru menjadi nilai utama dari sebuah sajian musikal. Coba cek tautan berikut. Di sana dipaparkan bagaimana lagu yang dibawah Justin Bieber justru menyimpan pesan tertentu. Entah itu disengaja atau tidak, kenyataannya demikian pentinglah si lirik itu. Karenanya, saya juga kadang mengganti lirik yang kiranya tidak layak dilafalkan dengan kalimat lain yang sevokal. Contohnya ketika saya menyanyikan lagu Stay Away milik Nirvana. Di akhir lagu itu, Kurt Cobain mendendangkan lirik berbunyi 'God is gay'. Meski sudah tidak meyakini esensi dari pernyataan itu, tetaplah rasanya enggan menyebutkan kalimat itu. Kalimat 'try to stay' selalu saya gunakan untuk mengganti lirik aslinya. Selain masih enak dinyanyikan (karena hampir tidak mengubah susunan komponen huruf vokalnya), lirik baru itu juga sudah punya arti yang lebih aman. Namun kadang saya tetap menanyikan lagu-lagu yang sarat dengan F words, karena toh konteksnya juga menempatkan lirik sebagai bagian dari musik yang dibebaskan dari belenggu nilai. Saat bunyi jreng dibunyikan misalnya, bunyi itu tidak memiliki arti khusus yang mengikat, malah multitafsir. Demikian pula dengan nyanyian 'nanana' atau bahkan kata 'yeah' hingga kata 'anjing' sekalipun. Semua tentu bergantung pada pendengar dan pelantun yang menginterpretasikan makna sebuah lirik. Artikel menarik yang mengajarkan saya perbedaan berpikir secara tekstual dan kontekstual bisa teman-teman akses disini.

Pemilihan lirik lagu
Saat membaca lembar demi lembar Keydo hingga kata 'TAMAT', saya sedang dalam perjalanan menuju sebuah tempat di Jakarta. Halaman 306 tiba saat saya duduk diatas sebuah metromini di bilangan Jakarta Selatan yang diramaikan dengan nyanyian seorang pengamen yang menyanyikan lagu Last Child yang menceritakan betapa menderitanya seorang anak jalanan yang tidak merasakan kehangatan keluarga. Di halaman itu, Kinang bertutur bahwa terkadang imajinasi dan proses kreatif seorang seniman bisa melenakan. Saya lalu mengaitkan proses penggubahan lagu tadi dengan pangsa pasar yang dituju. Lagu murung tadi seperti sengaja didramatisir agar para pengamen lebih menghayati dan nyaman dengan lagu yang dibawakannya sehingga sering dibawakan saat mereka mencari nafkah. Dengan demikian, warga Jakarta yang familiar dengan pengamen dan nyanyiannya, juga akan tak asing dengan lagu itu, sehingga popularitas musisi juga meningkat dan berujung pada kesuksesan musisi tadi untuk menyebarkan musiknya.

Pengamen memang selalu menjadi pengiklan gratis bagi para musisi. Sayangnya, tak banyak pengamen yang memilih lagu-lagu dengan pesan positif untuk dinyanyikan ke audiensnya, atau malah yang disayangkan adalah masih kurangnya musisi yang menggubah musik dengan muatan positif dalam karyanya. Ya, itu tugas kita, menggubah karya yang bermuatan postif dan tepat sasaran.

Mengimbangi hegemoni laki-laki
Halaman 298 menceritakan sebuah adegan yang unik. Dalam sebuah arena pernikahan, penghulu mempersilahkan mempelai wanita untuk mencium tangan suaminya. Si pria malah meraih tangan istrinya, menariknya ke dada, ke hidung, lalu diciumnya tangan istrinya itu untuk 'menghilangkan titah kelaziman semata yang menunjukkan hegemoni laki-laki'. (dikutip dari novel dengan sedikit perubahan.hehe).

Throw away society
Tak sedikit tokoh-tokoh dalam Novel Keydo yang sebenarnya juga hadir di dunia nyata, tentu dengan nama berbeda meski dari nama tokoh itulah saya menyimpulkan hal diatas. Elly Kisman contohnya, saya yakin nama itu muncul dari tokoh pejuang moralitas bangsa, ibu Elly Risman. Selain ibu Elly Risman, ada pak Jose Rizal yang di novel digambarkan juga sebagai aktivis kemanusiaan, begitu juga dengan pak Buchori Nasution dan bu Ratna Megawangi yang hadir dengan nama yang sedikit dimodifikasi.

Di halaman 307, Keydo mengulas pemaparan ibu Elly Kisman tentang throw away society yang belakangan meracuni gaya hidup kita. Gaya hidup konsumtif ini menerapkan prinsip langsung buang meskipun kerusakan yang jadi latar belakang pembuangan itu masih bisa diperbaiki. "Jika ada makanan tak enak atau rusak sedikit, langsung dibuang semua. Begitu juga pakaian, tas, sepatu, perabot rumah tangga, bahkan juga pasangan hidup. Menemukan sedikit kesalahan atau kekurangan langsung dibuang. Tak aneh jika angka perceraian kian hari kian meningkat tajam," tutur Keydo mengingatkan pembaca.

Dari pencarian hingga menyikapi kehilangan
Bunda Tatty Elmir begitu bertahap mengajarkan cara untuk membangun ketahanan nasional tadi dengan penjelasan membangun ketahanan keluarga yang lengkap dari mencari pasangan hingga seandainya kehilangan pasangan. Di babak-babak awal, alur cerita novel terkesan dipilih sehati-hati mungkin untuk menunjukan cara sehat melakukan relasi intergender dengan mengikuti norma arus utama. Di halaman 310, premis yang saya pegang bahwa novel ini berusaha untuk tetap ada di jalur aman tergoyahkan juga. Penulis bercerita melalui Mama Dobon tentang vaginismus, sebuah kondisi yang perlu diantisipasi para pasangan muda. Pemaparan tentang vaginismus itu juga menggambarkan bahwa bunda Tatty tidak terikat dengan norma konservatif yang menganggap tabu pembicaraan mengenai hal-hal privat, apalagi urusan reproduksi, padahal hal itu perlu diketahui. Pernyataan saya diatas bahwa novel ini bisa menambah banyak pengetahuan makin terbukti dengan adanya pemaparan ini.

Poin dominan
Aspek terbanyak yang menjadi daya tarik bagi saya saat melahap lembar demi lembar Keydo adalah serbuan informasi yang bertubi-tubi. Penulis seakan representasi dari suku yang menghuni Papua sekaligus duta budaya tanah minang merangkap bagian vital masyarakat suku Amish. Puisi karya Taufiq Ismail yang bertengger di lembar keenam bagi saya seperti air yang mencampuri segelas kopi yang memperkuat sensasi hambar. Bagaimana tidak, sastrawan senior itu membocorkan akhir cerita novel yang saya baca secara linear dari halaman awal itu. Hehe. Jika seandainya saya membaca puisi itu setelah khatam ber-Keydo, mungkin baru kepuasan saya sempurna. Sensasi ending kisah Keydo pasti akan terasa seperti saat saya mengetahui siapa sebenarnya Zachary Solomon di novel Lost Symbol. Grafik alur yang disajikan Keydo saya rasakan seperti ketika membaca Larung karya Ayu Utami yang menanjak perlahan namun dipotong tebing curam di puncaknya yang tertinggi. Novel ini akhirnya saya nikmati seperti ketika saya membaca Dunia Sofi yang kaya pengetahuan tentang filsafat, alih-alih duduk di atas jalan pikiran Sofi yang mencari tahu siapa pengirim surat-surat di novel itu. Novel dengan tema hubungan asmara dan lika-likunya akan selalu menyisakan dua pilihan, mereka bersatu ataukah berpisah, namun justru bagaimana cara mereka bersatu atau berpisah itulah sektor yang akan kita nikmati sebagai pembaca.


Novel sulung bunda Tatty Elmir secara keseluruhan sangat indah. Novel ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca semua orang yang selalu haus untuk mengisi hidupnya dengan esensi-esensi positif. (rhezaardiansyah)

Labels: , , , ,