Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang Bantaeng. Sebuah kabupaten si ujung selatan Sulawesi, yang kini terkenal berkat jasa bupatinya. Nama bupati kabupaten berjuluk Butta Toa atau tanah tua itu, mencuat ke publik setelah sejumlah tokoh intelektual menyodorkan 19 nama alternatif bakal calon presiden Indonesia. Diantara deretan nama dalam maklumat berjudul Komunike Bersama Peduli Indonesia itu, ada Nurdin Abdullah, bupati Kabupaten Bantaeng. Profesor bidang kehutanan di Universitas Hasanuddin itu bertengger bersama empat nama pemimpin daerah lain yang dinilai layak mengajukan diri memimpin negeri. Sebenarnya apa yang menarik dari sang profesor, hingga pamornya sedemikian melejit? Saya menyaksikan langsung bagaimana rakyat Bantaeng Sulawesi Selatan memandang bupatinya.
Sore itu ia duduk di salah satu kursi ruang tamu rumah jabatan bupati Bantaeng. Setelan kemeja batik resmi masih ia kenakan. Padahal menurut seorang warga Bantaeng, sang bupati sering kali berbusana layaknya warga biasa. Rupanya Nurdin Abdullah baru tiba dari Pare-Pare. Disana ia menyerahkan bantuan mobil ambulans dari Ehime Toyota, perusahaan yang juga menyumbang sejumlah armada mobil dinas di Bantaeng. Terlihat tanpa lelah, ia meladeni saya yang bertanya sejumlah hal.
“Saya ini seperti bulan madu setiap hari. Kalau tugas luar kota ingin segera pulang, kangen istri,” ujarnya setelah mengenalkan Liestiaty Fachruddin, istrinya yang dinikahi ketika sang bupati berumur 21 tahun.
Nurdin dibesarkan dalam gemblengan orang tua yang bersikap tegas. Sejak duduk di bangku SMP, Nurdin kecil sudah harus mencari uang sendiri. Ketika SMA bisa hidup dari usaha jual beli mobil bekas. Saat kuliah, ia menikahi anak rektornya dan menolak menikmati fasilitas mewah yang tersedia. Nurdin dan istrinya kemudian berangkat ke Jepang untuk sama-sama melanjutkan studi. Suami belajar ilmu pertanian, istrinya studi perikanan. Duet keilmuan keduanya ternyata cocok dengan kondisi alam Bantaeng, kampung halaman Liestiaty. Dalam sebuah kelakar, Nurdin berujar “saya yang urus darat, istri urus laut.”
Rekam jejak politik Nurdin bermula pada tahun 2008. Meski bukan politisi, namanya telah populer di kalangan warga Bantaeng. Kala itu ia maju sebagai bupati dengan mengantongi restu partai politik kecil nonparlemen. Hasilnya mengejutkan. Perolehan suaranya kala itu mencapai lebih dari 40 persen. Nurdin kemudian dilantik pada Agustus 2008. Kurang dari lima tahun periode kepemimpinan pertamanya, Bantaeng banyak berubah.
Saat masa bakti pertamanya habis, Nurdin digempur warganya yang mendorong agar ia mencalonkan kembali menjadi bupati. Nurdin rasional, ketika itu ia tak punya “kendaraan“ untuk melenggang lagi menjadi bupati. Spontan seorang tukang becak yang datang menyatakan dukungan menawari becak miliknya untuk Nurdin jadikan “kendaraan”. Maka demikianlah seperti yang kita sama-sama tahu. Masa kepemimpinan Nurdin Abdullah yang kedua bergulir. Jika semula ia hanya dibekingi partai gurem, kini partai-partai besar menyatukan suara mendukung pencalonan Nurdin. Walhasil, lebih dari 80 persen suara ia raup di pemilihan periode kedua.
Keberhasilan Nurdin Abdullah menyulap Bantaeng akhirnya membalikkan hati seorang tokoh kubu oposisi. Seorang mantan kepala humas pemkab Bantaeng terdahulu, mengaku sebagai orang yang paling menentang kepemimpinan Bantaeng di bawah Nurdin Abdullah. Ia ragu dengan kapabilitas seorang pengajar—yang biasanya berhadapan dengan mahasiswa—untuk mengelola sebuah wilayah. Butuh waktu hampir dua tahun bagi sang oposisi untuk kemudian mengakui kebolehan bupatinya kini. Bantaeng berubah lebih baik.
Ketika di Jepang, Nurdin sempat membangun perusahaan pengolahan ikan tuna. Ia juga menjadi ketua Perhimpunan Mahasiswa Jepang pada 1991. Bisnis lain yang juga masih ia jalani hingga kini adalah pembuatan butsudan. Melalui PT Maruki International yang didirikannya, Nurdin memproduksi paket produk budaya khas Jepang berupa altar tempat penyimpanan abu hasil kremasi. Dengan bekal pengalaman studi dan wirausahanya di Jepang, Nurdin mengembangkan Bantaeng. Makanya tak heran, jika sejumlah hal berbau Jepang bisa dijumpai di Bantaeng.
Dalam mengelola Bantaeng, Nurdin punya sejumlah hal unik. Dengan kocek pribadinya, ia menghadiahkan staf untuk melakukan perjalanan studi ke Singapura dan Jepang. Disana mereka diperlihatkan langsung kepada tampilan kota idaman yang sesungguhnya. Hasilnya, penataan kota Bantaeng menjadi lebih mudah. Kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan pun tumbuh. Di Bantaeng ada sebuah motor berbak terbuka yang bertugas memungut sampah apapun di jalan. Tempat sampah juga mudah ditemui di Bantaeng. Bagi warga Bantaeng, kebersihan adalah kebutuhan.
Selain pengelolaan sampah, program lain bupati yang dinilai progresif diantaranya adalah pembuatan Brigade Siaga Bencana, pembangunan bendungan, penataan pantai, hingga penerapan teknologi pertanian. Hal-hal tersebut akan saya bahas dalam tulisan terpisah.
Labels: bantaeng, bupati, mata najwa, metro tv, sulawesi, sulawesi selatan