Pelajaran Dari Bantaeng: Curhat ke Bupati


                “Jadi bupati itu enaknya cuma 30 persen, sisanya enak sekali,” kelakar Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah menirukan candaan tentang posisi bupati di daerahnya. Nyatanya, ia mengaku kata enak disana tidak ada. Dalam arti, menjadi bupati ternyata tak semudah itu. Profesor kehutanan lulusan Jepang itu harus langsung berhadapan dengan berbagai masalah di Bantaeng. Satu persatu, masalah itu lalu ia carikan solusi.

                Salah satu gaya memimpin Nurdin Abdullah yang ia praktikkan, adalah menemui warganya secara langsung. Bapak tiga anak ini setiap hari menerima kunjungan warga di kediaman pribadinya. Halaman belakang rumahnya ia set menjadi aula penerimaan tamu. Dari jam setengah enam hingga sembilan pagi, warga curhat ke bupati. Diantara mereka ada yang meminta jalan di sekitar rumah diperbaiki, ada yang minta dibantu dana untuk mas kawin, ada juga yang sekadar ingin mengucapkan terima kasih.

                Keterbukaan dengan warganya itu, diakui bupati ampuh membuat masalah warga tuntas. Ia tahu betul bahwa untuk mengetahui kondisi warga sebenarnya adalah dengan mendengar langsung dari mereka. Seorang tokoh masyarakat yang semula menentang kepemimpinan bupati pun akhirnya berbalik arah. Ia kini mengacungi jempol kepemimpinan bupati setelah merasakan sepak terjangnya. “Anak saya buka bengkel ojek. Sekarang sepi. Dulu warga itu naik ojek, sekarang mereka punya mobil sendiri karena jalan sudah bagus”, ujarnya mengulas sebuah fenomena di Bantaeng.


Seorang ibu saya wawancarai setelah ia mengadu ke bupati dan diajak sarapan oleh istri bupati. Si ibu mengadukan penerimaan PNS yang kurang memuaskan. Mendapat penjelasan dari bupati, ia akhirnya lega. Saya lalu bertanya, kenapa ia tidak berdemo. “Malu, kami kan pengajar. Kalau kami demo  nanti ditiru anak-anak”, ulasnya. Jawaban ibu tadi mengingatkan saya ke sindiran bupati yang bilang bahwa orang Indonesia itu gengsinya tinggi malunya sedikit. Nampaknya di Bantaeng tidak demikian.

Labels: , ,