Target utama hari itu sebenarnya
mengumpulkan materi pendukung berupa foto dan video untuk tayangan Mata Najwa
yang akan menghadirkan B.J. Habibie—selanjutnya kita panggil Eyang Habibie. Setelah
mengikuti beliau ke makam Eyang Ainun, saya bermaksud mengambil mikrofon clip
on di baju Eyang dan mohon izin untuk minta file-file dokumentasi. Namun rupanya
waktu Eyang Habibie senggang. Saya dan Yudha diajak masuk ke ruang kerjanya. Ruang
yang baru kali itu dimasuki wartawan.

Gambaran ruang
kerja seorang jenius tak jauh berbeda dengan suasana yang tergambar di angan
saya. Buku dimana-mana. Dan karena orang jenius yang saya maksud adalah
Habibie, maka replika pesawat juga menghiasi meja kerja. Juga tentu saja
foto-foto keluarga Habibie dan Ainun. Tepat di seberang ruang kerja itu, sebuah
pintu tertutup. Disanalah ruang kerja Eyang Ainun. Seringkali sang istri
mengingatkan Eyang Habibie untuk tidur ketika malam sudah terlalu larut. Tak jarang
pula Eyang Ainun menemani suaminya bekerja dengan mengaji, ketika ajakan untuk
istirahat ditolak.
“Saya terima
imil, dan saya nangis bacanya”, ujar Eyang Habibie merujuk sebuah tulisan di
internet tentangnya. Setelah diminta sang tuan, seorang asisten Habibie
kemudian memberi kami beberapa lembar tulisan berjudul “Tamparan Habibie untukBangsa Indonesia”.
Kami kemudian
berbincang tentang berbagai hal. Ketika melayat makam Eyang Ainun, sebuah puisi
selalu dibacakan. Eyang Habibie ceritakan bahwa puisi itu berjudul “Seribu”,
dibuat ketika seribu hari istri tercintanya berpulang. Sebenarnya puisi itu
tercantum sebagai bonus dalam buku Habibie & Ainun edisi khusus yang
dicetak Februari 2013. Ketika ditanya apa sudah memiliki bukunya, saya dan
Yudha kompak jujur bilang belum punya. Dua Habibie & Ainun edisi khusus pun
jadi hadiah kejutan buat kami berdua, plus tanda tangan langsung penulisnya.
Hingga kini Eyang
Habibie produktif menulis. Seperti yang juga tertulis di buku Habibie &
Ainun, menulis adalah terapi buat Habibie. Setelah kepergian Eyang Ainun, Sang
Mr. Crack benar-benar retak. Maka menulis dan curhat adalah solusinya terbebas
dari rasa kehilangan. Tulisan yang sedang digarapnya masih tentang Ainun. Kali ini
ia berusaha menguak misteri tentang keterkaitan antara dirinya dan sang istri,
meski sang pujaan hati telah tiada.
“Saya dan Ainun
itu manunggal”, kenang Eyang Habibie. Ia juga mengaku bisa bertelepati dengan
Ainun. Pada suatu ketika, mereka pernah bertelekomunikasi tanpa teknologi. Dalam
buku terbarunya nanti, Eyang Habibie akan membahas sebuah entitas bernama super
inteligent software. Ia menganalogikan tubuh manusia sebagai komputer. Badan hardware,
ruh yang jadi software. Kematian bermakna tak ter-install-nya lagi software
dalam sebuah hardware. Software yang dimaksud Eyang Habibie digambarkan sebagai
sesuatu yang bisa terbuka dan tertutup.
“Yang membuat
super software inteligent tadi terbuka adalah doa”, ujarnya sambil
melepas-tempelkan jari dan jempol tangan kanan. Eyang Habibie mengaku terhubung
dengan super inteligent software Eyang Ainun. Ketika ia merasa sepi dan rindu
istri, Eyang Habibie pejamkan mata. Kemudian yang terbayang adalah senyum di
wajah Eyang Ainun dan sederet kalimat bahwa ia tak boleh sedih karena istrinya
selalu mendampingi meski telah berlainan alam. Eyang Habibie menyunggingkan
senyum setelah menceritakan pengalaman tadi. Ia kemudian membacakan halaman
pertama dari 2000 halaman yang telah ia tulis.
Saya sebenarnya khawatir
jika berlama-lama mengobrol disana. Takutnya Eyang Habibie malah menunda makan
siang dan sakit sehingga urung hadir di Studio Mata Najwa. Ketika kami pamit,
Eyang Habibie malah mengajak makan siang bersama. Saya dan Yudha saling pandang,
kira-kira maknanya “mimpi apa kita semalam, sampe bisa diajak makan sama mantan
presiden begini”.
Labels: ainun, habibie, mata najwa, metro tv