Ada beberapa suku bangsa yang tinggal di Halmahera Barat, salah satunya suku Sahu. Suku ini tinggal di 3 kecamatan, Kecamatan Jailolo, Sahu dan Sahu Timur. Mereka punya tradisi unik yang namanya Horom Sasadu. Tradisi ini dilakukan dengan menggelar makan bersama yang diikuti seluruh penduduk desa. Kalau ada warga yang ga ikut, harus bayar dendan, traktir semeja di upacara berikutnya. Upacara ini langka karena hanya 2 kali digelar selama setahun, pas mau tanam padi sama pas mau panen. Ritual makan bersama ini digelar di rumah adat bernama Sasadu. Biasanya menurut salah satu tokoh adat, lama upacara ini dulu 9 malam, tapi sekarang semalam aja. Sebelum acara dimulai di malam hari, sorenya ada ritual pembangunan atap sasadu yang diwarnai beberapa tarian. Jumlah lapis atap sasadu menggambarkan lamanya upacara. Kalau 9 hari, berarti ada 9 lapis sasadu yang dibangun.
Malamnya, tetabuhan di dalam sasadu dimainkan. Warga berdatangan. Hidangan yang sejak sore sudah dihidangkan baru disikat setelah upacara pembacaan doa dihelat. Ada dua menu utama dalam ritual ini, selain hasil bumi khas desa Gamtala. Yang pertama namanya nasi cala atau nasi kembar. Nasi ini dibuat dengan digulung di daun pisang, lalu dimasukkan bambu dan dibakar. Rasa nasi bakarnya sebenarnya ga terlalu terasa kuat, tapi tetap enak. Bagi suku sahu, nasi itu barang langka. Mereka hanya boleh makan nasi di hari minggu. Sehari-hari mereka makan ubi. Nasi boleh disuguhkan di hari biasa, asal dimakan sama tamu. Mereka memang dikenal sangat memuliakan tamu.
Yang kedua, cap tikus. Iya, namanya cap tikus. Pas ditanya kenapa namanya begitu, rata-rata warga cuma bilang udah dari sananya namanya cap tikus. Padahal ga ada cap gambar tikus atau pembuatannya melibatkan hewan pengerat. Cap tikus bahannya sari gula aren yang disebut sagoer (oe ga dibaca u). Sagoer ini didestilasi dengan alat-alat sederhana. Pipa penyulingannya dari bambu, dihubungkan melingkar sampe uapnya nanti menetes ke botol yang ditanam di tanah. Satu jam kemudian sebotol cairan uap yang disebut cap tikus sudah jadi. Kata pak ketua adat, cap tikus bisa mengobati batuk. Kebetulan sekali, saat itu saya sakit batuk, sampe suara serak. Seteguk cap tikus lalu masuk ke kerongkongan. Rasanya hangat, enak. Semua dahak langsung cair ikut tertelan. Meskipun ga langsung sembuh, tapi rasanya plong. Cap tikus ini rasanya mirip vodka*. Kadar alkoholnya cukup kuat, hati-hati jangan kebanyakan minumnya. Hehe. Cap tikus kalau didestilasi lagi, dicampur sari buah, berubah lagi jadi anggur. Saya ga sempat merasakan anggur disana, tapi sempat beli buat oleh-oleh. Ternyata rasanya ga jauh beda, cuma ada sensasi asam si sari buah. Ada yang anggur rasa jeruk, ada anggur rasa nanas. Dijual murah di Desa Gamtala, lima belas ribu saja. Selain budaya horom sasadu, Desa Gamtala punya harta karun lain, hutan bakau yang asri dan delta lako akelamo. Kalau kesana, wajib mampir ke dua tempat ini.
* Kenapa saya tahu gimana rasa vodka? Karena saya pernah merasakannya, ga sengaja. Waktu tugas di Jogja, saya penasaran sama kopi klutuk yang ada dipromosiin program Jalan-Jalan Men. Kopi Klutuk itu saya kira kopi joss, kopi yang dicelup arang membara. Suatu malam saya menyempatkan diri mampir ke Sego Macan di Selokan Mataram, deket kosan. Disana saya pesan secangkir kopi. Saya kira kan kopi itu memang sudah dicelup arang, makanya rasanya beda. Ga enak. Saya ga habisin kopi itu, dibungkus, dan ga diminum lagi, dibuang. Hahaha. Sepulangnya ke Jakarta beberapa bulan kemudian, saya cerita ke Zaki, teman sekantor yang orang Jogja. Dia baru ngasih tahu kalo kopi disana dicampur miras, jadinya begitu rasanya. Jadi secara tak sengaja saya sudah tidak Straight Edge lagi. Hehe. Di kasus Horom Sasadu, saya ga Straight Edge demi melestraikan budaya. Hahaha.
** Foto karya Vitalis Yogi Trisna dipinjam dari images.kompas.com
Labels: jailolo, metro tv