Film ini saya tonton setelah beres baca buku karya Pandji Pragiwaksono yang berjudul
Menghargai Gratisan. Buku itu berisi pandangan penulis tentang fenomena produk bajakan yang marak muncul. Pandji juga memberi ulasan tentang DVD apa saja yang ia koleksi, salah satunya DVD film Gandhi ini. Karena mendapat cap bagus dari penonton sebelumnya, saya berani berinvestasi waktu di film keluaran 1982 ini.
Gandhi mengisahkan cerita tentang tokoh kemanusiaan asal India, Mohandas K. Gandhi. Sebutan Mahatma yang familiar dengan Gandhi adalah julukan yang diberikan simpatisannya. Biografi audio-visual ini dimulai dari akhir, dari kematian Gandhi. Setelah insiden mengejutkan di akhir hayat si tokoh utama, alur diputar balik ke pangkal mula karir tokoh yang teguh dengan prinsip anti kekerasannya itu.
Gandhi mengawali kariernya sebagai pengacara. Dia hijrah ke Afrika Selatan dengan menjalani profesi itu. Perlakuan diskriminatif sempat ia rasakan di negeri Mandela itu. Perlawanan terhadap kultur itu pula yang menjadikannya dikenal hingga ke India, tanah kelahirannya. Setelah pulang ke India, Gandhi memperjuangkan kemerdekaan dari tangan Inggris bersama tokoh-tokoh kenamaan lainnya seperti Pandit jawaharlal Nehru, Muhammad Ali Jinnah, dll.
Polemik kebangsaan di India juga tergambar di film ini, mulai dari konflik antar agama hingga upaya genosida yang dilakukan Inggris, pihak penjajah India. Cara yang diajarkan Gandhi serta sudut pandangnya dalam menyikapi masalah-masalah diatas adalah pelajaran penting yang dipetik dari film berdurasi lebih dari tiga jam itu. Beberapa dialog sakti yang saya kenang diantaranya adalah saat Gandhi mempertanyakan landasan utama melakukan perlawanan, apakah perlawanan itu berorientasi sebuah perubahan ataukah vonis belaka.
Gandhi juga memperlihatkan teladan bersikap seorang mediator yang baik. Saat massa berdemonstrasi menuntut kematian sang muslim Jinnah yang menghendaki pemisahan diri dari India hingga menjadi pakistan, Sang Guru menyatakan bahwa dirinya juga Islam, dirinya juga Hindu, dirinya jew, dia juga mengaku sikh. Gandhi tidak menghendaki latar belakang agama dijadikan motif konfrontasi.
Dalam dialog lainnya, Sang Mahatma menyatakan bahwa pergerakan yang dilakukannya harus aktif dan provokatif. Karena film ini direkomendasikan oleh tokoh pergerakan Indonesia Pandji Pragiwaksono yang aktif dalam salah satu senjatanya bernama Provocative Proactive, saya curiga nama Provocative Proactive tadi terinspirasi dari dialog ini. Setelah melakukan klarifikasi ke akun Twitter @pandji , ternyata bukan itu yang melatari nama Provocative Proactive, namun Pandji mengaku terkejut mendapati hal demikian.
Sikap sederhana Gandhi juga memunculkan ironi tersendiri bagi saya yang tinggal di negeri ini. Di negeri yang dihuni beberapa
pemimpin yang enggan 'duduk di lantai' dalam arti merakyat, meski tak duduk di lantai seperti yang dilakukan Gandhi dalam konteks yang sebenarnya di film itu. Di negeri yang ada salah satu
pemimpinnya yang malah dipenjara setelah memimpin, tidak seperti Gandhi (dan Bung Karno serta sejawatnya dulu tentunya) yang dipenjara dulu baru memimpin. Tapi tentu saja bukan berarti tiap pemimpin harus dipenjara dulu. hehe.
Romantika persahabatan sang guru dengan Nehru juga tersaji begitu dramatis. Saat seseorang berteriak 'death to Ghandiji' di hadapannya, perdana menteri pertama negeri hisdustan itu naik pitam dan menantang untuk melangkahi mayatnya dulu kepada pengecut yang menyembunyikan diri dan menghendaki kematian Bapu (panggilan lain Gandhi) itu. Romantisme Gandhi-Nehru itu mengingatkan kita bahwa Indonesia juga punya duo teladan yang tetap rukun meski tak sependapat, Soekarno-Hatta.
Pelajaran lain dari film ini adalah sikap Gandhi yang memilih jalan hidup mandiri, membuat baju untuk dirinya sendiri. Berdikari namanya kalau kita pakai istilah Bung karno, berdiri di atas kaki sendiri.
Mohandas juga punya keyakinan bahwa pola pikir 'eye for an eye' hanya bisa menjadikan dunia buta. Prinsip mulia itu teraplikasi saat seorang hindu ingin membalas dendam kepada muslim yang membuatnya kehilangan anak. Gandhi menyarankan agar pria itu mencari anak yang tidak memiliki ayah dan keluarga, lalu angkat anak itu sebagai anak sendiri. Si hindu lalu tersungkur dalam tangisan, malu akan sikap barbarnya yang ditimpali solusi bijak dari Bapu.
Adegan pembunuhan di awal film adalah penanda bahwa film itu dibuat manusia, tidak sempurna. Bayangkan jika seandainya penonton baru tahu bahwa hidup si tokoh teladan itu di akhirnya kandas karena terjangan beberapa butir peluru di akhir film, pasti akan sangat mengejutkan.
Durasi yang memakan waktu tidak sedikit juga menjadi atribut lain yang perlu diantisipasi dengan kesabaran. Tiga jam lebih bukanlah waktu yang singkat bagi penonton untuk tetap berada di depan layar. Karenanya di film itu juga disisipi intermission yang menyajikan karya musikal khas India.
Overall, Gandhi adalah rangkaian kisah yang sayang dilewatkan. Sangat menginspirasi dan sikapnya patut diteladani.
Labels: film, resensi