Manis Getir Skripsi: Solder

Awal bulan Oktober, anomali ini mulai muncul. Charger laptop saya baru bisa aktif setelah kabelnya dipelintir. Awalnya masalah ini masih bisa diatasi, hingga suatu hari memelintir kabel tidak lagi menjadi solusi praktis, charger laptop saya divonis rusak.

Bersyukurlah karena Tuhan menciptakan internet. Melalui dunia maya saya menelusuri jasa reparasi charger, lalu didapatlah kesimpulan: harus beli charger baru, di jambu dua katanya ada, dan kalau beli katanya harganya mahal.

Sebelum tinggal di kosan yang sekarang saya tempati, kontrakan bernama Pioneer pernah jadi rumah tinggal saya bersama belasan orang lain. Diantara mereka ada mahasiswa teknik pertanian yang ahli perlistrikan, Kak Iif namanya. Saya kemudian mohon bantuan beliau untuk memerbaiki charger laptop, ia lalu mengiyakan. Ternyata Kak Iif bertangan dingin, charger yang tadinya sudah tidak mampu mengalirkan energi ke laptop, sudah bisa berfungsi normal. Kabel yang putus di bagian dalam disinyalir sebagai biang keladi.

Beberapa bulan saya lalui dengan damai bersama charger itu, hingga akhirnya penyakit yang sama kembali hadir. Kali ini Kak Iif menganjurkan saya belajar membetulkannya sendiri. Cukup dengan membuka lakban yang melekat di sekeliling kabel, menyambungkan kabel yang terpisah, melekatkan dengan solder, dan membungkusnya kembali. Hasilnya lumayan, meski keluhan serupa cukup sering hadir, saya bisa mengatasinya dengan teknik tadi.

Pencapaian baru kasus charger rusak ini menemui babak baru beberapa minggu ke belakang. Saya sudah tidak lagi tinggal di Pioneer, tak ada lagi solder yang bisa dipinjam, tak ada lagi konsultan yang siap membimbing. Akhirnya di tengah gulitanya waktu isya, saya bergerilya berburu solder. Hampir semua kamar di kosan baru diinterogasi dengan pertanyaan serupa, "punya solder?". Hasilnya nihil, saya pun berburu solder ke alam terbuka. Sebuah toko elektronik ternyata masih buka, tapi mana penjaganya? Berulang saya panggil tak ada yang merespon. Saya berinisiatif mengetuk pintu rumah di belakangnya. Saya tahu ada orang di dalam, jendela yang transparan membuktikannya. Ibu itu sedang asyik menonton sinetron. Saya ketuk pintu, ibu itu diam, saya ketuk lagi, tak ada pergerakan, saya ketuk dan berucap salam, si ibu khusyuk bersinetron ria. Sudahlah, saya pergi.

Shelter UKF adalah alternatif pilihan berikutnya. "Ada solder ga?" tanya saya. "Ada, nih" ternyata solder yang disodorkan sudah tidak bisa berfungsi lagi. Soldernya tidak tersambung kabel, wireless (useless tepatnya). Saya kembali ke toko elektronik, panggil-panggil lagi, ga ada tanggapan lagi. Saya ke rumahnya lagi, ketok-ketok lagi, salam lagi, pintu tetap tertutup. Hopeless karena skripsi tentu saja tidak bisa dikerjakan tanpa laptop, saya meninggalkan toko. "Ada apa mas?" Seorang remaja usia SMP menyapa. "Mau minta tolong solderin," saya pinta. Bisa katanya, hati saya bersorak, hore. "Tapi mas ga ada timahnya," seketika hore tadi berganti jadi haru. "Saya punya, bentar ya saya pulang ke kosan dulu," bela saya. Radius sekian puluh meter saya tempuh pulang-pergi. Sekembalinya ke toko, si anak tadi bilang soldernya ga ada. Bapaknya yang biasa jaga toko tidak ada di tempat. Ia biasa menyimpan solder di tempat yang sulit diakses. Sebelum melanjutkan kisah mengangkan ini, saya perlihatkan dulu kondisi charger saya yang rusak tadi.


Mengenaskan memang, malang nasibnya. Ibarat mendiang Soeharto yang sebelum tutup usia organnya yang rusak terus diimplan agar jasadnya terus berfungsi. Nah demi tujuan itu, apapun akan saya lakukan, termasuk membeli solder demi memperbaiki kerusakan si charger. Harga sebuah solder sepuluh ribu rupiah, masih lebih baik dibanding jika saya harus membeli charger baru yang harganya sekian ratus ribu rupiah. Akhirnya beginilah penampakan charger laptop saya sekarang, tampil eksotis dengan pinsil terbujur lurus menyangga sambungan kabel. :D


Labels: