Aset terbesar yang perlu dimiliki sebuah negara adalah kualitas sumber daya manusia. Dengan memiliki sumber daya manusia yang tangguh, tanpa sumber daya alam yang melimpah pun sebuah bangsa akan mampu berkontribusi dalam kancah internasional. Hal demikian terjadi pada Singapura. Negeri pulau ini mampu menjadi panutan berbagai bangsa karena pencapaiannya yang baik dalam berbagai bidang. Agar bisa menjadi bangsa yang berkontribusi tinggi dalam kesejahteraan global, maka Indonesia pun perlu memiliki sumber daya manusia yang tangguh. Pembentukan sumber daya manusia unggul tersebut dilakukan melalui proses pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga sebagai organisasi paling kecil dan pertama yang dilalui seorang manusia.
Proses pengasuhan bukanlah hal kecil yang bisa diabaikan karena dampaknya terhadap pola pikir dan laku anak akan bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Kesadaran tentang pentingnya pengasuhan dan penerapannya dengan cara yang tepat mendorong para peneliti untuk melakukan penelitian tentang elemen apa saja pada pengasuhan yang dapat membentuk kualitas SDM. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat dua unsur penting dalam pengasuhan, yaitu demandingness dan responsiveness. Menurut Baumrind, demandingness adalah kecenderungan orang tua untuk menetapkan peraturan secara ketat, kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa. Sedangkan responsiveness adalah kecenderungan orang tua untuk bersikap hangat serta menerima permintaan dan perasaan anak.
Interaksi antara unsur responsiveness dan demandingness dalam proses pengasuhan diimplementasikan dalam gaya pengasuhan. Gaya pengasuhan adalah pola umum yang biasa diterapkan dalam mengasuh seorang anak. Gaya pengasuhan yang tinggi dimensi responsiveness tapi rendah dalam dimensi demadingness disebut permissive, sedangkan gaya yang dipraktekkan dengan rendahnya dimensi demandingness dan kadar responsiveness disebut uninvolved parenting style. Jika responsiveness dipraktekkan dengan kadar yang kecil, sementara demandingness memiliki kadar lebih tinggi, maka gaya pengasuhan yang diterapkan tergolong authoritarian, sedangkan jika kedua unsur pengasuhan diterapkan dalam kadar yang sama-sama tinggi, maka gaya pengasuhan yang diterapkan disebut authoritative.
Gaya pengasuhan yang paling baik adalah authoritative karena dengan penerapan responsiveness dan demandingness yang sama tinggi, maka anak didik akan menjadi disiplin dan patuh pada peraturan. Sementara itu jika authoritarian yang dianut, anak akan menjadi sosok yang pasif dan tidak memiliki keberanian sebagai efek dari pemberian aturan ketat tanpa diiringi penjelasan yang cukup. Lain halnya dengan karakter luaran proses pengasuhan uninvoled, gaya yang diterapkan dengan kadar responsiveness dan demandingness yang rendah ini akan menjadikan anak sebagai sosok yang apatis. Sementara itu gaya pengasuhan permissive akan menghasilkan sifat manja dan ketergantungan tinggi pada anak.
Sementara itu situasi kontraposisi dapat pula terjadi dalam pembagian peran diatas. Hubungan rakyat sebagai pengasuh dan pemerintah sebagai anak saat ini cenderung mengarah pada gaya authoritarian. Sikap itu tercermin dalam fenomena maraknya demonstrasi yang mengarah pada tindakan anarkis. Menurut http://id.wikipedia.org, demonstrasi menjadi hal yang umum sejak jatuhnya rezim kekuasaan Soeharto pada tahun 1998, dan menjadi simbol kebebasan berekspresi di negara ini. Demonstrasi atau unjuk rasa terjadi hampir setiap hari di berbagai daerah di Indonesia, khususnya Jakarta. Kecenderungan untuk beraspirasi dengan tegas adalah salah satu bentuk demandingness rakyat terhadap anaknya (pemerintah), sedangkan pemberian solusi dengan memberi masukan aspirasi secara halus adalah salah satu bentuk responsiveness. Evaluasi yang disampaikan secara tertib dan damai serta solutif juga tegas dalam menjalankan kesepakatan adalah perpaduan ideal demandingness dan responsiveness bernegara.
Tak banyak rakyat yang menginginkan perubahan dan menyatakan koreksinya tehadap pemerintah dengan baik dan cara yang tepat. Demonstrasi seakan selalu menjadi pilihan pertama. Padahal salah satu metode penyampaian pendapat itu berrisiko mendistorsi ketertiban masyarakat umum. Salah satu latar yang mendasari aksi demonstrasi adalah agar diliput media sehingga masyarakat sadar dengan isu yang disuarakan. Jalannya demonstrasi yang damai dan tidak mencederai kepentingan lain tentu menjadi hal yang diharapkan dan probabilitas peliputan oleh media juga sepertinya memiliki kadar yang kurang lebih sama. Karenanya pendalaman pemahaman isu, pelaksanaan demonstrasi yang tegas namun tetap tertib adalah gaya yang harus diterapkan. Terkadang memang cara penyampaian koreksi itulah yang justru pertama kali harus dikoreksi.
Labels: bamrind's theory, opini