Bulan yang sama menampakkan diri. Warna langit serupa menaungi bumi. Jentik bintang yang ada masih seperti mereka yang lama, tak ada sinaran titik cahaya di dekat sang dewi malam. Kali ini aku mengamatinya dari jendela sebuah aula panti asuhan yang kusantuni. Seperangkat ornamen malam itu menyeretku ke dalam rekaman episode kehidupan yang kujalani hingga akhirnya jadilah aku yang sekarang. Sadar dengan minimnya kemampuan berdagang asongan untuk membiayai hidup, aku lalu mencari celah di padatnya pusat kota yang ganas. Pekerjaan sebagai Office Boy (OB) di sebuah bank berhasil kutempati. Delapan jam kerja kulahap tiap hari. Tiap sore, saat jarum jam membentuk sudut siku, aku tak lantas mengakhiri pekerjaan layaknya OB lain. Pekerja yang lembur aku temani dan tawari bantuan. Tak berat pekerjaan bantuan tambahanku, aku cuma perlu menghajar tumpukan kertas-kertas itu dengan stempel, tentu bukan kertas sembarangan benda itu, sekali salah tempel, risikonya dipecat. Usai mengerjakannya barulah kucari tahu dan pelajari kertas yang ternyata adalah surat-surat berharga itu. Langit di balik jendela selalu menjadi tempat singgahku. Bulan sabit selalu didekati bintang, bulan purnama tetap menghalau bintang mejauh darinya.
***
Tubuhku mengangkat dirinya menjauhi keramaian aula panti asuhan. Aku berjalan menyusuri sudut gelap dan sepi di tempat itu, menikmati orkestra langit malam, menangisi celah menganga dalam pencapaianku. Tak ada yang meragukan apa yang kuraih. Sejak merintis karir dari titik nadir, kini aku duduk di zenith. Ternyata aku salah, pencapaian material tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rasa bahagia. Entah kepingan mana yang perlu kucari untuk melengkapi kekosongan ini.
Kakiku lalu terantuk sesuatu. Seorang anak perempuan menghalangi langkahku. Mata kami beradu sesaat. Kutundukkan tubuhku, mendekatkan muka ke wajahnya. “Nama kamu siapa?” ujarku membuka percakapan.
“Nama saya Nina,” aku si gadis kecil
Aku tersenyum, “kenapa kamu tidak bergabung dengan teman-teman yang lain?”
“Nina boleh ga minta sesuatu?” jawabnya dengan pertanyaan baru.
“Tentu boleh Nina, katakan saja” kataku meyakinkannya.
“Tapi Nina takut Om marah,”
“Tentu tidak Nina, katakan saja,”
Anak itu awas mengamati sekitar, memastikan bahwa memang kami berdua yang ada disana, seakan ia tak mau ada orang lain yang mengganggu.
“Om jangan marah ya,” pintanya yang kemudian kuiringi dengan anggukan lembut.
Perlahan mulutnya mendekat ke samping kepalaku, nafasnya berhembus di daun telinga “Om boleh ga kalau Nina panggil Ayah?”
Darahku mendesir mendengar pertanyaan itu. Seketika kuhadapkan wajahnya didepanku, kupegang pundak mungilnya yang tirus dan kutarik ia kedalam pelukanku yang terdalam, tangisku pun pecah.
***
Tangan mungilnya masih kugenggam erat. Kami berjalan menuju pintu keluar, aku harus pulang. Sebelum pamit aku kembali membungkukkan badan.
“Nina, kamu mau apa? Ayo katakan saja, apapun yang kamu minta pasti akan Ayah berikan,”
Sebelum menatapku kembali, Nina menunduk. Ia menggelengkan kepala tanpa mengucapkan sepatah pun kata.
“Ayolah Nina, katakan saja, lihat ayah punya banyak uang,” ujarku sambil memperlihatkan isi dompet yang tebal dengan lembaran rupiah. Apapun yang ia minta malam itu, akan kukabulkan.
“Nina cuma minta satu hal Ayah,”
“Boleh, katakan saja. Sebanyak apapun maumu, akan Ayah patuhi,”
Lama kami saling memandang, ia tetap terlihat enggan berbicara. Setelah kuanggukkan kepala, ia terlihat yakin menyatakan inginnya.
“Nina mau difoto sama Ayah, nanti fotonya Nina bawa ke sekolah, biar teman-teman tahu kalau Nina sudah punya ayah,”
Mataku sekali lagi meleleh pilu. Dalam dekapan tubuh mungilnya, jantung hati Nina berdegup di dadaku. Mataku kembali menengadah ke langit sana. Purnama tertutup awan tipis, bintang terlihat lebih banyak menghamburi langit, bahkan di tempat yang biasanya tak ditempati bintang saat bulan bersinar penuh. (rhezaardiansyah)
Note:
1. Kisah diatas terinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh Bapak Houtman Zainal Arifin, dengan penambahan beberapa unsur untuk proses dramatisasi
2. Houtman Zainal Arifin menceritakan kisah itu dalam kegiatan Forum Indonesia Muda ke-10 di Aula Ki Hajar Dewantara Taman Rekreasi Wiladatika Cibubur Jakarta Timur
3. Houtman Zainal Arifin adalah orang nomor 1 di Citibank Indonesia. ia menjabat sebagai vice president Citibank, presiden direktur bank itu berada di Amerika Serikat. Beliau juga menjadi staf ahli Citibank Asia Pasifik
4. Kisah ini diceritakan untuk menjawab pertanyaan salah satu peserta FIM 10 (Al)
Pak Houtman berkaca-kaca matanya saat menceritakan kisah diatas
Para peserta terharu mendengar cerita beliau
Labels: cerpen, fiksi, FIM, pengalaman