Seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara

Justify FullProgram yang saya ikuti ini adalah Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN). Tahun lalu saya juga mendaftar, tapi belum ada kesempatan untuk melaju ke tahap seleksi berikutnya. Kesempatan mengikuti seleksi tahap II akhirnya hadir tahun ini. Dua hari sebelum Maret berganti April, sebuah pesan SMS saya terima dari Husfani Putri, katanya saya lolos seleksi tahap II PPAN. Saya pastikan di internet, ternyata benar. Senang sekali bisa selangkah lebih dekat ke kesempatan belajar di luar Indonesia. Para peserta yang lolos seleksi tahap II harus menampilkan pertunjukan seni, mempresentasi beberapa topik dan diwawancara. Untuk seleksi penampilan seni, saya merencanakan sebuah pertunjukan yang kemungkinan besar tidak ditampilkan oleh peserta lain. Ide itu lalu bermuara ke sebuah paket program komputer bernama Fruity Loops versi 9 yang saya dapat dari Muhammad Fikri. Berbekal pengetahuan penggunaan perangkat dasar program itu yang diajarkan Achmad Fauzan Alfansuri, saya lalu menggubah aransemen baru untuk lagu Pileuleuyan dan Es Lilin. Muhammad Fikri (yang kini memiliki alter ego bernama Mothers-Fathers) mengaku menggunakan waktu tengah malam hingga dini hari untuk memainkan Fruity Loops. Saya heran kok mau dia mengorbankan waktu tidurnya demi sebuah hobi. Lalu saya mulai mengoperasikan program itu selepas bermain futsal pada Rabu malam. Proses penggalian ide diawali dengan membuka koleksi lagu tradisional sunda. Pilihan lagu yang akan dicover kemudian jatuh ke rangkaian melodi lagu Pileuleuyan yang dibawakan KPA ITB. Lagu itu saya dapat dari Rizki Ihsan Febrian, anggota tim angklung ITB yang sekaligus juga berstatus sebagai adik saya. Setengah durasi lagu telah saya konversi menjadi Pileuleuyan versi pribadi, namun ternyata akan terasa membosankan bila satu lagu saja yang dinyanyikan nanti, maka saya mengambil Es Lilin sebagai pemanis. Dua menit lima puluh sembilan detik adalah durasi total lagu baru itu, sudah sangat cukup untuk penampilan tiga menit yang disediakan. Meski selesai dengan proses mixing dan mastering yang tidak maksimal, saya tetap merasa puas dengan proses dan hasil olah kreativitas malam itu. Komposisi itu kemudian saya simpan dengan judul Es Pileuleuyan, hasil perselingkuhan Es Lilin dan Pileuleuyan. Saya lalu berpaling ke jam tangan yang ternyata menunjukkan bahwa saat itu sudah pukul 3 dini hari. Mungkin ini yang membuat Fikri rela mengurangi waktu tidur. Ada kepuasan tersendiri selama menjetikkan jari membuat susunan loop di program itu.

Hari kedua di bulan keempat akhirnya tiba. Pagi itu mata saya masih terasa berat. Pasca solat subuh, saya kembali membaringkan diri diatas kasur rumah di Garut. Dalam mimpi pagi itu, saya tiba-tiba teringat dengan sebuah benda, akta kelahiran. Saya lekas terjaga dan bangkit, berlari menuju laptop dan mengecek kelengkapan yang harus dibawa. Ternyata benar, disana ditulis bahwa peserta harus membawa fotokopi akta kelahiran. Masalahnya, saya tidak membawa fotokopi akta kelahiran yang biasa disimpan di kamar kos di Bogor. Penyesalan tentu langsung timbul, kenapa saya tidak mengecek lagi kelengkapan seleksi sebelum meninggalkan Bogor. Tentu akan sangat disayangkan bila saya gagal hanya karena tidak teliti membawa kelengkapan seleksi. Saya dengan segera berlari menuju arsip dokumen, berharap ada akta disana, atau setidaknya kopiannya. Setelah mengobrak-abrik beberapa folder, akhirnya akta asli saya temukan. Degup jantung yang semula menderu perlahan mereda, how lucky I am. Saya lebih beruntung lagi karena kopi akta kelahiran itu ternyata tidak digunakan sama sekali saat seleksi.


Rangkaian seleksi tahap II kemudian mulai saya jalani. Seleksi yang diadakan di kantor Dinas Olahraga dan Pemuda Provinsi Jawa Barat itu saya jalani sejak jam satu siang hingga jam delapan malam. Dalam sesi presentasi, saya memilih tema lingkungan. Dalam tahap pertama seleksi itu saya menyajikan permasalahan polusi dan global warming serta solusinya melalui analisis POET (People, Social Organization, Ecosystem & Technology). Setelah tiga menit mempresentasikan ide, juri lalu bertanya tentang materi yang saya bawakan. Juri menanyakan kebenaran informasi tentang pengunggahan data ke internet yang berdampak terhadap kesehatan lingkungan. Jawaban atas pertanyaan itu tidak saya paparkan secara spesifik, karena memang saya tidak yakin atas jawabannya. Hehe. Saya lalu menyatakan bahwa kita sedang berada dalam jalan menurun. Suatu hari nanti pemanasan global akan mencapai puncaknya dan menghancurkan dunia. Yang kita lakukan saat ini adalah memperlambat laju pemanasan global, bukan menghentikannya. Hal itu karena dalam setiap konversi energi, terdapat sekitar 20% energi awal yang berubah menjadi panas sebagai produk samping konversi itu. Karenanya pemanasan global adalah suatu kepastian. Oleh karena itu salah satu solusi dari analisis POET adalah Technology. Kita harus menemukan teknologi yang mempu melakukan konversi dengan efisien. Namun mesin yang dikenal dengan nama mesin Carnot itu tidak mungkin terwujud karena dalam pengoperasian mesin itu sendiri, pasti ada panas yang dihasilkan. Meski demikian, kita tidak boleh pesimis terhadap berbagai inovasi yang bahkan mungkin nantinya akan melebihi ekspekatasi kita. Jika memang pemanasan global tak bisa diselamatkan, lalu kenapa kita harus repot-repot peduli terhadap penanggulangan global warming? “Agar lebih banyak generasi yang akan datang yang bisa merasakan manfaat lingkungan hidup,” demikian pernyataan akhir saya. Seleksi berlanjut ke tahap wawancara.

Durasi seleksi yang panjang sebenarnya banyak dihabiskan untuk menunggu giliran. Peserta dibagi dalam beberapa grup, dalam grup itu kemudian disusun lagi urutan pesertanya. Saya menempati grup E di urutan keenam. Saat giliran wawancara tiba, saya memasuki sebuah ruangan berisi 5 pewawancara dan dipersilahkan duduk di sebuah sofa. Wawancara berlangsung cair dan menyenangkan. Dalam salah satu sesi, saya ditantang untuk menguji tingkat kreativitas. Saya disodori sebuah bola tenis, sebutir anggur dan sebuah palu. Bola tenis dan anggur saya olah bak seorang pemain sirkus, lalu anggur itu saya lempar ke udara dan mulut saya ditugaskan menangkap anggur itu. Para pewawancara terlihat tertarik dengan atraksi itu, saya diminta mengulang hingga tiga kali (karena pertunjukan kedua gagal). Nyam, dua butir anggur jadi bonus wawancara.


Penampilan seni menjadi suguhan menarik sementara peserta lain menunggu giliran. Ada seni bela diri, seni tari, permainan alat musik tradisional, seni tarik suara, hingga kerajinan tangan jadi senjata para peserta untuk menarik poin tinggi di sesi ini. Hiburan lain sementara menunggu giliran sore itu adalah langit barat kota Bandung yang terbakar mega.


Jam setengah delapan giliran saya baru tiba. Pertunjukan digital Es Pileuleuyan yang diiringi permainan ukulele yang saya mainkan sambil bernyanyi memulai sesi akhir yang ternyata memakan durasi 13 menit. Setelah menyanyikan seni tradisional dalam busana digital, saya diminta menampilkan seni lain. Menyanyikan lagu What We’re All About karya SUM 41 menjadi pilihan saya. Selain unik, lagu yang dinyanyikan band punk dalam gaya musik hiphop itu memiliki lirik yang bisa ditoleransi. Bandingkan dengan Break Stuff milik Limp Bizkit yang juga gemar saya nyanyikan. Kening juri mungkin akan berkerut mendengar kata-kata kasar dalam liriknya. Selanjutnya saya diminta menjadi MC. Dalam penampilan itu, saya mempersilahkan diri sendiri untuk menampilkan pertunjukan trik sulap. Dalam bagian akhir itu saya “mengubah” kertas yang telah koyak menjadi utuh kembali. Ketigabelas menit yang saya lalui di atas panggung berhasil direkam dalam bentuk video. Wujud mp3 lagu Es Pileuleuyan diunggah di akun reverbnation yang baru saya buat atas nama Can I Say. Can I Say adalah nama blog ini. Kalimat tanya itu saya dapat dari tato di dada Travis Barker, penggebuk drum idola saya. Can I Say versi Reverbnation akan menjadi blog saya dalam bentuk audio. Cek penampakannya disini.

Di seleksi itu saya juga bertemu dua teman lama semasa SMA, Ani Hanifah dan Bani Idham. Ani menampilkan seni permainan instrumen suling, pembacaan puisi sunda dan karya lain. Idham dengan piawai memainkan kecapinya menyanyikan lagu milik Nining Meida.

Sebelum beranjak pulang, ayah yang mengantar saya hari itu mengajak berkunjung ke ruang dokumentasi Dinas Olahraga dan Pemuda. Puluhan foto yang menunjukkan prestasi para pelajar Jawa Barat dipajang disana. Di salah satu sisi ruangan tergantung foto tiga orang pria berpose di hadapan baliho bertuliskan Olimpiade Sains Nasional VII. Lelaki yang berdiri di tengah itu ternyata adik saya. Semoga suatu hari foto saya bertengger disana, tentu sebagai penyumbang prestasi bagi Jawa Barat. Tapi kalaupun tidak, bukan masalah, karena tidak semua kontribusi harus diapresiasi dengan prestasi.

Pagi tadi saya memeriksa email dan ternyata ada pemberitahuan bahwa saya berkesempatan mengikuti seleksi berikutnya. Seleksi ketiga itu akan dilaksanakan di Bandung selama tiga hari sejak tanggal 12 hingga 14 april. Terima kasih atas dukungan semua pihak. Semoga kita selalu mendapat hasil yang terbaik. :)

Labels: , ,