Memamerkan-Dipamerkan

Kata dasarnya “pamer”. Tanpa memakai asesoris lain, kata tadi memiliki rasa yang sama dengan kesan yang timbul dari kata “sombong”. Coba si “pamer” tadi ditambah sufiks “-an” menjadi “pameran”. Maknanya tentu sekarang berbeda. “Pamer” dalam pameran sekarang sudah berubah menjadi arena untuk pamer, atau tempat memamerkan, meskipun kesan yang timbul dari kata itu kini tak lagi dekat dengan kesan kata “sombong”. Baiklah, kita tidak akan membahas kaidah-kaidah berbahasa. Yang ingin saya ceritakan kali ini memang ada hubungannya dengan kata itu. Pertama mari kita bahas dulu, MEMAMERKAN.

Komunitas Wahana Telisik Seni dan Sastra menggelar pameran seni rupa dan fotografi di Koridor Tanah Faperta minggu ini. Tema pameran itu adalah “Perdamaian”. Saya ikut serta dalam kegiatan itu, dua karya saya lolos proses kurasi. Karya pertama adalah sebuah foto yang saya ambil dengan kamera ponsel di masjid Salman ITB beberapa bulan lalu. Di foto itu diperlihatkan dua orang pengemis yang sedang membaca satu koran yang sama. Karya kedua adalah sebuah gambar (coretan tepatnya) yang saya buat diatas kertas ukuran A5. Gambar itu saya buat dengan crayon yang dihadiahkan Nadia Naomi sebagai kado perpisahan.

Selama pameran berlangsung, gambar itu dipajang sebingkai bersama mahakarya miliki Widyastuti Utami (Windi), ilustrator senior Koran Kampus yang juga menjabat sebagai (ehm) pasangan saya. Hehe. Pacar maksudnya. Gambar Windi tentu saja tidak usah diragukan lagi nilai artistiknya. Dalam sketsa berjudul “Namanya Juga Ibu-Ibu” itu, Windi memperlihatkan dua orang ibu yang membawa belanjaannya. Ibu yang satu terlihat rapi dengan kantong belanjaan dari kertas. Sementara ibu lainnya bermata sayu dengan busana seadanya dan barang belanjaan dalam kantong plastik hitam. Tema perdamaian mampu menyatu dengan estetika di gambar itu.

Sekarang mari kita tengok gambar saya. Orang pertama yang saya perlihatkan gambar itu adalah Windi. Saat itu ia bingung dengan orientasi arah gambar agar bermakna. Beberapa menit berlalu, akhirnya saya bocorkan rahasia makna gambar itu. Tak berbeda dengan Windi, Pak De juga bingung setelah melihat gambar saya. Dibolak-baliknya kertas itu, hingga akhirnya beliau menyerah, tak mengerti bentuk apa gerangan yang saya gambar itu. Saya pun mengalah. Itu adalah gambar tangan yang mengacungkan jari telunjuk. Kelima jari tangan kanan itu dibuat berwarna-warni. Maknanya, beda warna tapi tetap bersatu. Nah, lalu ada kesalahpahaman. Kak Titis SMS, tanya apa judul gambarnya. Saya kira beliau bertanya judul foto, lalu saya jawab “Berbagi Topik”. Jadilah judul gambar itu “Berbagi Topik”. Hehe.


Sekarang mari kita bahas topik kedua, DIPAMERKAN.


Tanggal 23 Maret ayah saya mengirim SMS bahwa di koran Pikiran Rakyat ada iklan Finding Nadia. Tentu saya tidak langsung percaya, mungkin beliau salah baca. Lalu beliau begitu detil memberi penjelasan tentang titel album Finding Nadia, A huge Difference Between Zero and The Number After, bahkan beliau menyertakan email penulisnya. Penasaran dengan kabar itu, saya lalu meminta Windi yang sedang ada di Bara untuk membeli koran itu. Ternyata benar, band saya bersama Rona, Van, Deni dan Iqbal itu benar-benar diliput media nasional, Harian Umum Pikiran Rakyat. Tapi rasa senang sore itu juga dicampuri rasa sedih. Tepat seminggu sebelumnya, Van menyatakan hengkang dari Finding Nadia. Padahal pencapaian ini tentu akan lebih terasa manis jika Finding Nadia berformat lengkap. Meski demikian, saya yakin Van akan kembali lagi bersama Finding Nadia (ya kan Van? Iya aja deh :D). Wah, mulai melankolis nih. Langsung saja kalau begitu saya perlihatkan penampakannya.

Finding Nadia ada di kiri bawah

Klik gambarnya, baca dalam gambar ukuran lebih besar :)


Tanggal 19-20 Maret saya juga mengikutsertakan dua foto saya ke pameran di daerah Taman Kencana. Sayangnya saya berhalangan hadir kesana. Inilah kedua foto yang saya maksud:

Labels: , , ,