Dilarang Gondrong



“Kita masih beruntung, di India semua organisasi kemahasiswaan dibekukan karena ditunggangi muatan politik.” Demikian Pak Rimbawan menuturkan temuan studi bandingnya di salah satu universitas India beberapa waktu lalu. Pernyataan itu terucap pada tanggal 23 Agustus 2010 di gedung Student Center IPB dalam acara buka puasa bersama seluruh ketua UKM. Agenda utama pertemuan itu sebenarnya penyerahan kunci sekretariat tiap UKM secara simbolik. Namun dalam kesempatan itu, sambutan direktur kemahasiswaan tak hanya berkutat di masalah keamanan, namun aturan lain terkait kenyamanan beraktivitas di kampus IPB. Dalam sambutannya, Pak Rim menginformasikan bahwa saat ini institusi sedang menggodok aturan baru bagi mahasiswa IPB. Aturan yang sebelumnya tidak tercatat dalam buku panduan sarjana itu berbunyi bahwa para mahasiswa dilarang berambut gondrong—panjang rambut bagian depan tidak melebihi alis, bagian samping tidak melebihi telinga, bagian belakang tidak menutupi kerah, dan tidak kribo. Selain aturan mengenai tata rias rambut, tata busana pun turut disinggung dalam aturan baru itu. Bunyinya adalah bahwa selain harus berpakaian rapi (berkemeja/kaus kerah), desain busana yang dipakai pun harus longgar (tidak membentuk lekuk tubuh) dan panjang lengan baju harus menutupi setidaknya ¾ panjang lengan atas.
Keberadaan aturan ini memancing pro dan kontra antara mahasiswa dan institusi sebagai pembuat tata tertib. Atas fenomena itu, kemudian terbangunlah sebuah panggung diskusi dalam benak saya. Di arena itu terbentuk dua kutub yang nantinya akan beradu argumen, kubu Institusi (I) dan mahasiswa (M).
I : Ada seorang mahasiswa yang berambut gondrong dan kurang rapi hadir ke rektorat. Dia diperingatkan untuk merapikan rambutnya, tapi menolak peringatan itu dan berdalih bahwa aturan berambut pendek tidak tertulis di “buku biru”. Oleh karena itu, kami merasa perlu untuk memberlakukan aturan itu secara tertulis dalam buku panduan sarjana edisi terbaru.
M : Tapi kan merubah potongan rambut tidak berdampak langsung terhadap perubahan sikap mahasiswa.
I : Justru pemberlakuan aturan itu adalah langkah maju membentuk perbaikan tata krama mahasiswa. Kami berupaya memperbaiki sopan santun mahasiswa dengan revisi citra eksternal sebagai langkah awal.
M : Itu kan kesopanan menurut pembuat aturan, standard kesopanan kami berbeda, kami tidak setuju.
I : IPB adalah institusi pendidikan formal. Dasar yang digunakan dalam pembuatan aturan ini adalah norma kesopanan yang lazim dipakai mayoritas kalangan formal.
M : Dengan menerapkan aturan kalangan formal yang mayoritas, berarti Bapak/Ibu menyampingkan keberadaan minoritas
I : Demikianlah, aturan ini dibuat agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kami mengantisipasi tindak kesewenangan yang salah satunya mungkin dilakukan kaum minoritas dengan berpenampilan seenaknya.
M : Sebaiknya Bapak/Ibu mengajak kami untuk berdiskusi terlebih dahulu, karena aturan ini kami yang menjalani, dan kami harus setuju jika ingin aturan ini berjalan dengan baik.
I : Apakah saat kami menyusun aturan berpakaian kuliah, kami mengajak mahasiswa untuk berdiskusi? Apakah setelah aturan itu berlaku ada mahasiswa yang protes?
M : Baiklah, jika aturan itu diberlakukan, kami tidak akan patuh.
I : Tidak apa-apa, kami punya sanksi.
M : Berarti Bapak/Ibu mengekang hak kami.
I : Dengan menjadi bagian dari civitas akademika IPB, anda berarti bersedia mematuhi rambu yang berlaku di dalamnya, termasuk aturan ini. Kami yakin Saudara sadar hal itu.
M : Tahukah Bapak/Ibu, bahwa tahun 1970-an Rambut gondrong dianggap tak mencerminkan kepribadian bangsa. Lalu terbitlah buku “Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Tahun 1970-an” karya Arya Wiratma Yudhistira. Dalam buku itu disebutkan bahwa akibat stigma itu, tahun 1971 artis dilarang tampil di TVRI. Larangan ini menyebar ke gedung pemerintahan, sekolah, kampus, hingga tempat publik. Bahkan tanggal 1 oktober 1973, Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan dalam acara Bincang-Bincang di TVRI bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi acuh tak acuh. Akhirnya anak-anak pria keluarga militer ramai mencukur rambut. Kemudian awal bulan oktober 1970, pihak kepolisian Bandung mengadakan razia besar-besaran terhadap mahasiswa berambut gondrong. Banyak mahasiswa dan pemuda yang ditangkap di jalan, lalu digunduli. Hal ini menimbulkan ketegangan antara mahasiswa dan polisi. Untuk meredakan kondisi itu, diadakan pertandingan sepak bola antara kepolisian dan mahasiswa ITB. Namun kesempatan ini digunakan oleh mahasiswa untuk melampiaskan rasa kesalnya kepada pihak kepolisian. Sejumlah mahasiswa dari UNPAD dan UNPAR pun datang menyaksikan pertandingan itu. Sebagian mahasiswa membawa gunting dan mengejek pihak polisi dengan meminta digunduli. Pihak kepolisian naik pitam, bahkan beberapa personel mengeluarkan pistol, terjadilah perkelahian massal. Rene Louis Conrad, seorang mahasiswa elektro ITB tewas tertembus timah panas dalam insiden itu. Padahal ia tidak terlibat dalam pertandingan itu. Saat itu Rene sedang berkeliling kampus dengan Harley Davidson-nya. Setelah ditembus peluru, mayatnya dibuang ke atas kendaraan polisi begitu saja, lalu ditaruh di gudang. Konon peristiwa Malari yang terjadi pada 15 Januari 1974—selain dipicu maraknya pemodal asing—juga dilatarbelakangi larangan berambut gondrong ini. Apakah harus ada miniatur Tragedi Malari di kampus kita, agar institusi sadar bahwa sektor privat macam potongan rambut kepala tidak perlu diatur secara formal?
I : Tentu kita tidak berharap demikian. Makanya, setujui dan patuhilah calon aturan ini.
M : Latar belakang pembuatan aturan ini adalah sikap tidak sopan yang diperlihatkan di gedung rektorat. Mengapa aturannya digeneralisasi? Buat saja aturan bahwa mahasiswa yang berkunjung ke rektorat harus berpenampilan rapi.
I : Rekan mahasiswa, kami tidak merugi saat merasa diperlakukan tidak sopan. Kami mendidik Anda agar bertindak baik. Jika aturan itu hanya berlaku di rektorat, perilaku santun yang kami harap menjadi jati diri mahasiswa, malah menjadi topeng belaka.
M : Kesopanan yang Bapak/Ibu maksud sangat subjektif. Kami mengusulkan agar mahasiswa tetap boleh berambut panjang, asalkan ditata rapi. Kalangan akademisi formal pun ada yang berambut gondrong tapi tertata rapi, dan orang itu diterima lingkungannya. Jadi baiknya pihak institusi tidak membatasi panjang dan potongan rambut, namun menghimbau agar terlihat rapi. Selain itu, penanaman nilai kesopanan yang Bapak/Ibu harapkan bisa dilakukan melalui proses edukasi, bukan pembatasan. Misalnya memasukkan mata kuliah Pendidikan Karakter di jenjang TPB.
I : Saat ini aturan masih dalam proses pengolahan, masukan Anda kami pertimbangkan. Semoga semua pihak setuju dengan aturan itu.
M : Betul, semoga tidak ada yang merasa dirugikan, dan semua berkomitmen untuk menjalankan tata tertib kampus.
***

Labels: