Waktu Maghrib adalah Titik Kulminasi Aktivitas Setan (Deden Abdurrahman, 2006)

Dulu, waktu masih muda, gw ngekos soalnya jarak rumah-SMA kurang lebih 1 jam naek angkot. Di kosan gw itu, gw dibimbing oleh seorang pemipin laskar mujahid, beliau adalah sekjen MM (Majelis Mujahidin, bukan Marilyn Manson). Pak Deden, demikian lelaki berjanggut mirip Serj Tankian (vokalis System of a Down) itu biasa dipanggil. Beliaulah yang membekali berbagai pemahaman agama selama gw melalui masa akhir remaja itu. Saat ini ustadz yang bersikeras dengan ideologi enterpreneurshipnya itu telah berpulang menghadap Sang Penguasa Hidup-Mati, semoga Allah menempatkan beliau di tempat terbaik di sana. Kutipan diatas adalah salah satu pelajaran yang sampai detik ini masih gw ingat.

We’re All The Same
Hari minggu di akhir januari, gw berkesempatan tampil di sebuah hajatan besar apresiasi musik di gedung Kemuning Gading Bogor, bukan bersama Finding Nadia, tapi Clumsy Little Boy (myspace.com/clumsylittleboy). Hal menarik yang memaksa gw buat nulis disini adalah sebuah fenomena yang gw amati saat jam tangan gw menunjukkan pukul 18.40, setelah solat maghrib. Gigs yang menghadirkan Sweet As Revenge sebagai tamu pamungkas itu memang tidak dilengkapi waktu khusus break shalat. Jadi setelah nonton performa From Nothing yang aduhai itu, gw permisi dulu buat solat, udah lama ga solat soalnya. Haha, lama semenjak waktu ashar maksudnya. Di masjid sebelah utara gedung itu, gw solat diantara kakek2 dan nenek2 yang sedang mengadakan pengajian, tentu saja dengan lagu latar gemuruh scream dan riuh sorak dari selatan masjid. Ironis man, di utara ada kakek-nenek yang ngaji, di selatan, aa2, teteh2, teman2 dan ade2 malah terlena tingginya ceria. But show must go on, ngaji juga must go on, yang penting ga saling ganggu, betul.

Setelah solat, gw masuk lagi ke arena dansa (baca: arena moshing). Dari luar, terlihat asap putih memadati ruangan. Bukan kebakaran, itu asap rokok (damn I hate fucking smoke). Demi sebuah sajian musikal nan impresif, gw korbankan sedikit ruang paru gw buat diisi partikel hasil bakaran tembakau itu. Beberapa detik setelah berdiri di pinggir bibir panggung, pandangan gw mulai mengabur, padahal gw udah pake kacamata. Pas gw buka kacamata, ternyata lensanya berembut. Wow, sepertinya neraka bocor, dan hawa panasnya tersalur ke dalam ruang suara itu. Selain panas dan berbau asap rokok, udara disana juga lembab, gw tengok kanan-kiri, atas-bawah (sebenernya atas ngga), basah semua dengan keringat ekspresi yang menggila. Pas gw masuk, di panggung, The Jaka Sembung sedang memanjakan seisi Kemuning Gading, bahkan panggung penuh dengan nyawa. Ya, penonton banyak yang naik panggung, jadi penari latar dadakan, bahkan ada yang foto2 sama vokalis. Ckckck. Kesibukan lain tampak terlihat di sisi kanan panggung. Musa sang vokalis From Nothing sekaligus panitia disana, terlihat sibuk mengenyahkan makhluk2 yang membandel naik venue. Ia sedang bersikeras mengamankan alat agar jangan sampai dirusak masa. Pepatah Pak Deden diatas mulai terbukti, setan itu kuat banget godaannya pas maghrib, makanya buruan solat, paksa diri kita sendiri, sebelum dipaksa orang lain, oke sohib!
The Jaka Sembung, menurut gw mereka adalah candu, ganja, opium, whatever lah you name it, pokonya yg bikin mabok dah. Gimana kagak “mabok”, musisi rock n roll itu mampu membius massa sampe liar gitu. Apalagi pas nyanyi lagu terakhir, temponya lambat, tapi sajian lagu itu malah jadi karaoke. Suara vokalis bener2 ilang, part vokal diisi sama manusia2 yang ada di bibir panggung, maupun penari latar wannabe diatas panggung sana. Anak street punk, anak SMP, anak APWG (liat dari bajunya), semua tumpah disatu sudut ruangan, blek tah didinya kabeh, nyanyi semua, edan. Mungkin karena lagu mereka lebih familiar sama bibir, lebih mudah diucapkan, dibanding lagu FOE misalnya, yang liriknya kayaknya bukan kata2, tapi teriakan tanpa nada dan kata. Hehe, maap, ini pendapat pribadi yah. Atas pencapaian fenomenal itu, The Jaka Sembung pantaslah dinobatkan sebagai The Most Attractive Performance malam itu.

Setelah Jakbung turun, giliran From Nothing menderu distorsi. Gw sama Ikiw setuju kalo FN (bukan Finding Nadia ini,hehe) pantas menyandang titel Man of The Match di event itu. Selain berjasa sebagai panitia, orang2 di band yang kebanyakan personilnya pake kaos putih itu juga mampu menampilkan sajian yang amat impresif. Kedua gitaris beserta basis serempak menutup mata dengan kain putih. Soal akurasi nada sama permainan, hampir ga ngaruh, tetep ngena. Bahkan salah satu gitaris mainin gitarnya kayak maen kecapi, masih dengan mata tertutup kain, Woaw. Di tengah aksi fenomenal sang pekerja seni itu, gw diajak ngobrol sama seorang penonton. Dia nanya, ini band mana. WTF? Ga tau band ini? Ndeso sekali (padahal gw juga baru tau 1 lagu, The Case Was Closed.haha, berarti gw juga katrok. Gapapa, setidaknya dia setingkat lebih kuper dari gw, gw ndesi, dia ndeso.haha), trus dia bilang screamnya bagus. Gw jawab aja ini band lama sebenernya, bandnya sang maestro acara ini. Trus dia nanya lagi, drummernya les dimana. Dalem ati gw jawab, mana gw enyoy.

Sang Man of The Match akhirnya turun panggung. Giliran Not For Child mengguncang malam. Band ska itu ga kalah gila sama The Jakbung, apalagi musiknya asik, ngingetin sama band ska favorit gw yg asal Inggris, Spunge. Pas Not For Child maen, situasinya ga jauh beda sama pas Jakbung unjuk gigi. Musa masih sibuk dorong2in orang ke luar panggung, sementara di sisi kiri, basis From Nothing ikut bantu, dia nutupin sound monitor dari jamahan tubuh2 yang berkeliaran tanpa kendali. Dia sempet bilang kalo jangan ada yang naik panggung, daripada acaranya di-cut. Bener juga boy, gw pernah baca, yang bikin Bogor sepi gigs itu ya para aktor di gigs itu sendiri, mereka terlalu brutal, jadinya aparat ga percaya, takut lanjut ke tindak anarkis. Killing Me Inside pernah tuh ngalamin kasus tadi, iya kan. Makanya nih melalui hore-punya-blog.blogspot.com ini, gw ngajak temen2 semua buat bertindak cerdas selama di acara musik. Mari kita ciptakan kondisi kondusif, biar ritual apresiasi kita berjalan khidmat, setuju semua kan?

Detik demi detik berlalu, setelah Not For Child, ada Full Of Envious, trus bintang tamu deh, Sweet As Revenge. Selama Not For Child maen, gw udah liat polisi yang bolak-balik ke backstage, ga tau dah mo ngapain. Sweet As Revenge ankhirnya naik tahta, lagu apa itu gw ga tau, berhasil mereka nyanyikan. Setelah lagu pertama, ternyata mereka langsung bilang salam perpisahan, OMFG, bentar amat mas, biasanya kan yang paling ditunggu tu yang maen paling lama. Gw punya beberapa analisa terkait fenomena itu. Pertama, mungkin bapak2 berseragam cokelat itulah penyebabnya. Mereka meminta acara diputus atas dasar mosi tidak percaya terhadap kelancaran dan keamanan acara, mengingat kondisi internal ruangan udah seperti acara musik (lha itu kan emang acara musik pak). Hipotesis kedua, tampilnya Sweet As Revenge dengan satu lagu, adalah bagian dari strategi panitia buat narik massa biar stay sampe akhir. Ckckck, cerdas lah, mereka. Kalo gw jadi bikin sebuah gigs, taktik macem tadi kemungkinan gw gunakan, tergantung budgetnya ntar.haha.

Berkat eksistensi gw di acara itu, gw termotivasi buat bikin bisnis EO, sounds great huh? Tapi setelah liat rintangan yang dihadapi Musa yang notabene udah punya nama di scene lokal tapi masih terlihat kesulitan ngontrol massa, gw jadi mawas diri, siapa gw? Punya power apa gw kalo ada di situasi kayak gitu? Dan gw harus banyak belajar dulu, biar suatu hari nanti, gw siap mengemban tugas mulia menyediakan lahan bagi mereka yang butuh penghormatan karya musik. Nah, buat Best Performance, gw mau menganugerahkan gelar itu ke Douet Mauet’s. ajib lah mereka. Maen berdua doang, gitar sama drum. Drummernya jago, dia guru les, wong muridnya ada yang jadi anak MAX!!, waktu audisi sempet gw wawancara. Trus yg main gitar, rapi maennya, motil lagi, ga statis di satu posisi, bahkan dia sempet naik bass drum. Kualitas vokal, ga ada yang perlu gw cela. Yg gw puji juga, salah satunya adalah suara bass yang tercover sama permainan gitar sang vokalis. Permainan senar atas sama penggunaan efek yang pas pasti kunci utama produksi suara itu. Overall, saran gw buat pengembangan gigs di Bogor adalah, marilah kita seringkan acara2 beginian, biar kita bisa seproduktif Bandung misalnya, kayaknya disana tiap minggu ada aja panggung yang siap jamah, jadinya ya subur musisi disitu. Nah kalo bangsa kita udah subur musisinya, sama kualitas musiknya bagus, kualitas bangsa secara holistis harusnya jadi kebawa bagus dong, ya ga coy.

Tadi kan kita udah punya Man of The Match, Most Attractive Performance, sama Best Performance. Nah sekarang gw mau ngenalin kalian sama penyandang gelar Hattrick. Mereka adalah, Clumsy Little Boy (clib),yeeeee, horreeee. Mereka menang soalnya bawain tiga lagu.hehe, sebenernya yg lain juga 3 lagu, tapi yang mau gw bahas ya clib ini.hehe. teman2 silahkan kunjungi myspace.com/clumsylittleboy, disana ada 2 lagu versi live kami, belum bagus, tapi kalo suka sok aja donlot sesukanya. Kalo ga suka? Inget kata slank di lagu tong kosong,
“hak manusia ingin bicara, hak manusia ingin bernyanyi
kalau sumbang janganlah didengarkan, kalau merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina”



ini adalah suasana panggung saat the jaka sembung beraksi



ini adalah bassis from nothing yang mengamankan properti panggung dari kegilaan massa



ini adalah kerusakan yang timbul di depan panggung



ini adalah pemandangan saat full of envious unjuk gigi



ini adalah para bapak yang muncul di akhir2 acara



ini adalah suasana moshpit bada acara



pulang semua



udahan

Labels: