Gw mulai uraian pendapat ini dari sebuah fakta di tahun 60-an. Waktu itu, di Amerika Serikat diterapkan sebuah sistem pendidikan yang disebut free flowering child (Ratna Megawangi -Pendidikan Karakter, 2004). Para pakar pendidikan negeri paman sam saat itu, menganut paham Roseau (filsuf Perancis) yang menyatakan bahwa manusia tidak perlu belajar dari apa yang ada di luar dirinya. Pada era itu pula, paradigma pendidikan yang banyak diterapkan di dunia, berlandaskan prinsip headstart, atau sistem pendidikan yang hanya mengedepankan keunggulan akademis dan pengembangan kecerdasan intelegensi belaka. Hasilnya, orang2 cerdas dengan berbagai inovasi telah terlahir, namun apa yang terjadi dengan temuannya? Ya, penyalahgunaan. Leó Szilárd (1898-1964), seorang ilmuwan yang berperan dalam gagasan reaksi berantai nuklir, proses yang membuat bom atom untuk dikembangkan. Dia juga orang yang memprakarsai Proyek Manhattan, yaitu dengan menulis kepada Presiden Roosevelt untuk mendesaknya mengembangkan senjata-senjata ini, karena ia percaya orang Jerman meneliti sesuatu yang serupa. Beberapa dekade sebelum penyalahgunaan teknologi nuklir itu, sistem pendidikan yang hanya menekankan satu aspek kecerdasan juga berbuah petaka. Fritz Haber, seorang kimiawan Jerman yang mencatatkan namanya pada industri sintesis amonia, komponen penting pupuk dalam pertanian modern. Hal ini telah membantu dalam produksi pangan intensif yang telah menjadi ciri dunia modern, dan pada gilirannya memungkinkan pertumbuhan penduduk yang besar dari abad ke-20. Ia sangat terlibat dalam pengembangan senjata kimia seperti gas klorin untuk Jerman di Perang Dunia I, dan ia diberi julukan oleh beberapa orang sebagai bapak dari perang kimia. Karya Haber membantu pengembangan gas sianida, yang digunakan oleh Nazi untuk melakukan beberapa kekejaman terburuk dalam sejarah manusia. (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3032244)
Ceritanya sekarang udah tahun 90-an. Setelah liat para ilmuwan yang malah mengkhianati hakikat penggunaan teknologi, maka para pakar nyari penyebab sama solusinya. Lalu muncullah seorang Daniel Goleman dengan buku pusakanya yang berjudul Emotional Intelligence. Dengan terbitnya buku itu, diketahuilah bahwa kualitas seorang manusia tidak hanya ada di aspek intelegensi aja, tapi juga sisi emosionalnya. Setelah penemuan fenomenal tersebut, muncul banyak temuan lain yg ga kalah penting. Howard Gardner menyatakan bahwa manusia memiliki 8 jenis kecerdasan (multiple intelligence), ada linguistic intelligence (kecerdasan verbal), logical-mathematic intelligence (kecerdasan matematis), spatial intelligence (kecerdasan ruang), bodily kinesthetic intelligence (kecerdasan olah fisik), musical intelligence (kecerdasan musikal), interpersonal intelligence (kecerdasan kemunikasi eksternal), intrapersonal intelligence (kecerdasan analisa diri) dan naturalist intelligence (kecerdasan mengenal alam). Nah, setelah berbagai konsep itu ditemukan, sistem pendidikan yang tadinya headstart, berubah jadi heartstart. Paradigma heartstart ini ga Cuma fokus di pengembangan intelegensi, tapi juga kecerdasan lain yang dimiliki manusia, kemudian lahirlah sebuah konsep pendidikan yang banyak diterapkan saat ini, namanya pendidikan holistik, artinya pendidikan yang bertujuan membentuk manusia secara holistik (menyeluruh). Menurut Bobi dePorter, dalam bukunya Quantum Learning, salah satu cara agar proses pembelajaran berkualitas dan efektif, adalah penggunaan musik. Jadi kawan2 semua, boleh dong gw simpulkan bahwa siapa yang mencegah perkembangan musik berarti menghambat pengembangan salah satu fitrah manusia, kecerdasan musikal.
Lalu, ada seorang ahli yang namanya Fitjrof Capra, yang menyatakan bahwa cara pandang terhadap suatu masalah hendaklah tidak terkotak-kotak, tapi holistik, menyeluruh atau liat dari banyak sisi (Ratna Megawangi-Pendidikan Holistik, 2008). Gw jadi inget sebuah dongeng tentang dua ekor tikus yang liat ada keju yang besar di depan pintu sarangnya. Mereka nggak langsung sikat tu keju, soalnya lagi mikir2 dulu, jangan2 ini perangkap. Setelah yakin dengan keputusannya, kedua tikus itu melangkah maju, selangkah lagi menuju keju yang disajikan gratis di depan matanya. Namun tiba2, ayahnya berteriak dan melarang kedua anaknya mendekati keju itu. Sang ayah lalu mengajak kedua anaknya menaiki meja. Dari sana mereka melihat sebuah keju yang disajikan di depan sarangnya dan diletakkan di atas sebuah perangkap tikus. Ya, pandangan yang tidak menyeluruh bahkan bisa berbahaya. Yang menarik di forum ipb 45, ada seorang “oknum” yang ngingetin gw sama lagunya netral yang judulnya terompet iblis. Orang yang bikin klaim subjektif bahwa di ipb ini Cuma ada satu jenis musik, lalu di akhir pernyataannya ia menyisipkan semboyan bahwa kebenaran akan selalu menang, mengesankan bahwa musik yang ia sebut sebelumnya adalah satu2nya kebenaran, sungguh menyedihkan. Lalu dia bilang kalo salah satu organisasi musik di ipb Cuma nge-band foya2. Sangat tepat kalo gw analogikan dua ekor tikus tadi sama orang ini. Dia ga liat satu fenomena secara menyeluruh. Apa jadinya kalo bangsa kita hidup sama konsep begitu, bakalan makin banyak orang baik yang dipenjara, malah koruptor ngipas2 pake duit, gara2 ga teliti ngolah kasus, ga menyeluruh.
Sekilas orang ini mirip aktivis agama, soalnya bawa kata puasa, band islami, nasyid, bahkan kata pesantren dibawa di nama kampus kita tercinta ini. Tapi hati2 kawan, jangan cepat2 ngambil kesimpulan kalo org ini dari alhur ato organisasi keagamaan manapun, mungkin aja ini adu domba, devide et impera. Mungkin orang kayak gini ga sedikit di kampus kita, tapi kebetulan yang nongol di forum ini ada satu nih. Mister, saya mau berkomentar nih, soal pernyataan ente yang bunyinya gini:
"IPB tuh musiknya hanya lagi nasyid, ga ada musik yang lain, hebat yah,.... INSTITUT PESANTREN BOGOR... Kebaikan itu selalu menang..."
Semoga setelah mengetahui konsep berpandangan holistik, anda berubah pikiran. Musik di IPB ga Cuma nasyid kok, gw berani jamin. Dari rock sampe dangdut, ada di IPB, jadi mau diakui atau tidak, kenyataannya begitu. Gw sebenarnya bangga, ipb banyak singkatannya, institut pertanian bogor, institut pesantren bogor, institut perbankan bogor, institut publisistik bogor, institut perteknologian bogor, institut punkrock bogor, institut pleksibel banget, dll. Itu artinya, manusia2 jebolan ipb memang makhluk2 unggul agen pengubah bangsa, mereka (semoga kita juga) manusia2 paripurna yang multiple intelligencenya seimbang. Semoga kita bener2 berguna, ga Cuma ngomong kosong, tapi juga berkarya dan berkontribusi.
"AYO MAXX !!! bikin organisasi musik ga cuma nge-band foya-foya... bikin ajang band islami menjelang Puasa, bikin ajang band lagu nasional menjelang kemerdekaan, kalo cuma nge-band yang niru lagu orang lain, mendingan gw liat band di tivi."
Suatu hari, gw liat sebuah spanduk terpampang gagah di fem, deket rektorat. Isinya butir2 gol yang harus dicapai pemerintahan SBY-Budiono dalam 100 hari. Di bawah list itu, ada tulisan yang kurang lebih bunyinya begini “mari kita tagih bersama”. Gw jadi mikir, kenapa redaksinya harus berupa tuntutan yang mengesankan kalo penulis dan pembaca tulisan itu bukan bagian dari sistem. Tulisan itu seolah memposisikan pembaca sebagai orang seperti penulisnya yang menonton dan menuntut pelayanan pemerintah tanpa ngasih sumbangsih, kesannya kayak pemerintah itu babu, nah si pembaca tulisan majikannya yang ga puas dan pengen nuntut kinerja si babu. Kenapa kata2nya ga gini: “Mari kita bantu mewujudkannya”, ato “mari bung kita upayakan bersama”?
Sekarang kita tengok sebuah teori pengasuhan yang dikemukakan oleh Baumrind (1975). Menurutnya, dua komponen penting dalam proses pengasuhan adalah demandingness (tingkat tuntutan) dan responsiveness (kehangatan). Idealnya, kedua komponen itu kadarnya berimbang, tinggi dua2nya gitu (authoritative atau demokratis), biar nanti sosok yang terbentuk adalah pribadi yang disiplin dan mudah bersosialisasi. Nah kalo kita terlalu banyak nuntut, tanpa dibantu dan sedikit pemberian dukungan, kita menerapkan gaya authoritarian atau otoriter. Pribadi yang bakal terbentuk adalah seorang rebel, pemberontak yang cuman bisa ngacau tanpa ngasih solusi. Nah kalo responsiveness terlalu tinggi, tanpa diimbangi demandingness yang cukup, itu malah akhirnya bakal ngelunjak, kalo salah bakal susah diatur+dibenerin. Kalo responsiveness sama demandingness sama2 rendah, atau istilahnya uninvolved, itu malah lebih parah. Individu bentukan nanti bakal hilang arah, ga ada tujuan + ga jelas.
Balik lagi ke masalah perlakuan kita sama pemerintah. Coba analogikan responsiveness diatas sama dukungan kita terhadap perwujudan program pemerintah. Trus demandingness coba diasosiasi jadi tuntutan kita sama situasi pemerintahan. Mana coba yang lebih gede saat ini? Ya, keliatannya demandingness lebih tinggi, simbol tertinggi negara bahkan sampe dianalogikan jadi kebo. Segitu kerasnya kita membimbing sebuah orde yang sebenernya berjuang buat rakyat. Coba kita gantian posisi, apa segitu gampang ngubah bangsa tanpa dukungan? Gw bukan memihak salah satu kubu, ini kita coba berpikir husnudzon, okeh. Nah, oleh karena itu, marilah kita imbangi kritikan2 terhadap pemerintah dengan sikap yang dewasa, tanpa anarki, tanpa perusakan, dan dengan cara yang cerdas.
Waduh kok gw jadi ngomongin politik ya. Balik lagi ke kutipan diatas, jadi pernyataan om tadi kesannya kayak dia pengen musik di ipb hidup, dan dia punya ide, tapi ga mau gerak. Maunya nyuruh aja gitu, pas dia ga puas, nuduh foya2, nuduh Cuma nyanyi lagu orang, hanuh. Tapi teman2, mari kita sikapi kritikan ini dengan positif, mari buktikan bahwa karya kita original, segera publish karya2 kita segila2nya. Oiya, ngomong2 soal nasyid, gw jadi inget sebuah band nasyid (kalo nasyid diartikan musik yang mengutip kata2 kitab suci dan menyampaikan nilai2 kebenarannya). Pernah denger purgatory?
Ternyata ya teman2, band yang personilnya pada pake topeng ini, beberapa lirik lagunya diambil dari alquran. Contohnya, di lagu pathetic, pugatory nyeritain salah satu peristiwa pengakuan tuhan manusia yang ada di quran surat Al-Araf ayat 172. Di video clip lagu itu, diceritain ada seorang pengguna narkoba yang liat dirinya sendiri nulis angka 7:172 di tembok, dan refleksi dirinya itu ngomong terjemahan ayat itu, bisa dibaca di subtitlenya. Menurut gw, dakwah yang sebenarnya, merubah orang yang belum insap jadi sadar, bukan hanya ada di mesjid. Orang yang dateng ke mesjid mah emang udah insap, niatnya juga udah bagus, ningkatin keimanan. Nah justru orang2 yang perlu disadarkan itu ada di luar mesjid. Kalo diliat dari kacamata husnudzon, porgatory ini udah berdakwah, melalui musik mereka, di komunitas mereka.
Terus-terus, gimana caranya bakat-bakat musikal anak2 ipb muncul dan tersalur? Ipb kita ini hampir tiap tahun selalu jadi universitas penyumbang proposal pkm terbanyak. Apa rahasianya? Motivasi, sama penyediaan akses yang mendukung pencapaian prestasi itu. Tiap akhir tahun, di ipb ini pasi rame, dosen2 pasti pada dicari buat dijadiin dosen pembimbing. Mahasiswa, karena terpengaruh sama kondisi kampus yang wara-wiri soal pkm, jadi ikutan termotivasi. Itulah keajaiban strange attractor, salah satu hukum alam yang berlaku di jagad raya ini. Melalui ilmu fisika, kita tau kalo setiap benda punya daya gravitasinya sendiri, hal itu juga berlaku sama pola perilaku kita. Seorang ahli bernama Ully Bronfenbrener, mencetuskan sebuah teori yang menyatakan bahwa seorang individu adalah inti dari sebuah sistem yang disusun dari beberapa subsistem (mikrosistem, mesosistem, eksosistem, kronosistem, makrosistem). Interaksi sistem dan individu itu menunjukkan pola hubungan timbal balik, jadi kondisi sistem bakal mempengaruhi pola laku individu, begitupun sebaliknya, sikap yang ditunjukkan individu akan berpengaruh terhadap status sistem. Hubungan teori ini dengan konsep strange attractor, bisa dilihat dari fenomena PKM diatas. Orang yang semangat, pasti bakal ngajak temennya buat gabung, lalu temen dari temennya itu termotivasi bikin kelompok sendiri, terus dia ngajakin temennya yang lain, temen dari temen temennya yang lain tadi juga ikut termotivasi, begitulah seterusnya sampe tindakan yang semula dilakukan dalam skala individu bisa berpengaruh sistemik. Lalu bayangkan kalo ipb (sistem) ga mendukung pembuatan PKM tadi, ga ngasih informasi, ga bikin pelatihan, ga ngasih motivasi, dll. Gelar membanggakan sebagai penyumbang proposal terbanyak tadi ga mungkin dicapai. Saat ada dua perbedaan, misalnya A dan B, maka beberapa kemungkinan yang bisa terjadi adalah A berubah jadi B atau sebaliknya, atau A dan B tetep berbeda dan saling menerima, atau A dan B membentuk sebuah format baru. Temen2 yang yakin atas sesuatu yang ia perjuangkan, tetaplah berdiri tegak disana, jangan goyah, pertahankan idealisme & ideologi yang kalian anggap benar. Jangan takut diserang, teruslah bergerak, perbanyak membaca, biar kita lawan mereka sama senjata yang benar2 tepat. Toh kalau kita bisa liatin dasar yang kuat dan benar, pihak oposisi yang fair akan mengakuinya, dan tindakan yang semula berskala individu, cepat atau lambat bisa berubah jadi identitas sebuah sistem.
Akhirnya, gw menyimpulkan bahwa dalam mengupayakan sesuatu, marilah kita berasas pada prinsip talk less do more. Mohon maaf kalo kata2 gw banyak salahnya, saran+kritik sangat gw terima dengan tangan dan hati terbuka. jangan lupa teman2 ya, jangan terpancing emosi, kita disini belajar diskusi cerdas dan nawarin solusi. Jangan sampe pendapat kita malah saling jatuhin, kalo sampe begitu, apa bedanya kita sama ilmuwan yang bikin teknologi penghancur, ga maju2 dong kalo gitu. Mari bersulang bagi kedigjayaan ekspresi dan apresiasi seni di ipb, demi kualitas bangsa yang maksimal di semua bidang. Cheers!!!
Hak manusia ingin bicara, hak manusia ingin bernyanyi
Kalau sumbang janganlah didengarkan, kalu merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina
(slank-tong kosong)Labels: opini