MENDAKI LANGIT (edited version)

Sore itu langit menguning cerah. Sang raja hari tersenyum riang bersama sinarnya yang menghangatkan. Rabu itu Wanaraja siap menjadi saksi petualangan kami. Setelah semua berkumpul, kami beranjak menjemput salah satu memori indah pudarnya masa putih-abu yang tak lama lagi segera sirna. Pukul lima sore kami mulai berangkat menuju Talaga Bodas, sebuah danau vulkanik di kecamatan Wanaraja kabupaten Garut.

Sejak awal perjalanan, jalur yang kami lewati adalah jalan yang menanjak seakan tanpa puncak. Selain pegal di kaki, akupun menahan rasa sakit di pundak yang menahan bobot ransel. Baru beberapa ratus meter berjalan, langkah kami terhenti sejenak. Seorang ibu tampak senang setelah berhasil menyusul kami dengan ojek. Beliau adalah ibunda Luthfi yang turut bersama kami. Dengan tuturnya yang ramah, beliau mengajak kami berpikir kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Talaga Bodas. Beliau khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika kami memaksakan pergi, karena daerah yang kami tuju adalah hutan alami yang masih dihuni hewan buas. Sebenarnya kami menyadari hal itu, tapi itulah kenyataannya, makin berharga sesuatu, makin besar pula biaya imbangan yang harus direlakan. Akhirnya beriring restu dan doa dari beliau, kami melanjutkan perjalanan.

Tabir petang semakin menutup benderang langit, butiran terang mulai bertaburan di hamparan hitam atap bumi, senandung kemenangan pun mulai bersahutan. Kami berhenti sejenak di sebuah istana kedamaian untuk shalat sembari membasuh lelah. Dalam temaram cahaya maghrib, Budpi yang pernah berkunjung ke Talaga Bodas menunjuk sebuah bukit nun jauh disana, di seberang hamparan sawah, di bawah teduhnya langit yang teduh, di belakang sanalah garis finish kami. Sambil berpapasan dengan beberapa anak kecil yang berangkat mengaji, kami terus meniti jalan desa yang tetap menanjak, hingga kami memilih berjalan di pematang perkebunan jagung untuk memperpendek lintasan tempuh. Di tengah titian kami di tengah perkebunan, terdengar suara desis yang diiringi taburan gerimis. Kami kaget sekaligus bingung karena hujan akan menghambat perjalanan, dan kami tak mungkin mendirikan tenda di bawah hujan. Beberapa langkah berikutnya, butiran kecil yang semula membasahi kepala mulai berhenti menghujam. Alhamdulillah, ternyata suara desis dan gerimis itu adalah pipa irigasi yang bocor dan menyemburkan titik-titik air. Akhirnya sekitar pukul 8 malam kami tiba di perkampungan terakhir sebelum kami menembus hutan. Seorang warga mengajak kami untuk bermalam di rumahnya, karena talaga memang masih jauh. Setelah demikian panjang jalan yang kami susur, ternyata tak setengah perjalanan pun telah kami tempuh. Indahnya panorama malam pegunungan memaksa kami menolak ajakan itu. Di bawah hamburan pesona dewi malam, kami kembali meniti jalan berbatu menuju bukit di seberang sana.

Derai canda tawa terasa menghangatkan dinginnya malam. Setelah tiba di sebuah jalur lurus, komando Budpi mengarah kami belok ke kiri, menembus semak yang menutupi sebuah parit kering. Ega yang semula berjalan di depan, mundur dan mempersilahkan yang lebih berani untuk berjalan di depan, Budpi pun harus bertanggung jawab atas usulannya, ia berjalan menuntun kami menerobos sebuah perkebunan. Tubuh kami mulai menabrak lebat belukar. Wajahku terus menunduk, selain untuk menghindari ranting, akupun tak mau mataku menangkap figur yang bisa memacu adrenalin. Nikmatnya bumbu petualangan kami tak berhenti sampai di situ. Setelah lolos dari jeratan semak belukar, kami berjalan di sebuah daerah menurun yang diapit tebing dan jurang. Di tengah segarnya udara malam yang mengembun, aku mencium semerbak wangi bunga kenanga yang menonjok ulu hati. Aku tak berkomentar, yang lain pun tak ada yang buka mulut. Aku berusaha menghibur diri bahwa di samping kami memang tumbuh bunga itu, tapi fantasiku berkata lain, tampak sesosok wanita yang tidak kukenal, bersama gaun putih dan rambut yang terurai hingga menutupi wajah, dengan semerbak parfumnya yang menyengat sedang mengikutiku, tepat di belakangku, dan wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari pundakku, hingga hembus nafasnya membuat otot rambutku berkontraksi beriringan dari pundak sampai pipi. Aku menunduk dan mempercepat langkah, tak ada suara lain selain derap langkah. Aku yakin temanku yang lain juga merasakan yang kurasakan. Setelah beberapa langkah, semilir itu pun pudar dan menghilang bersama hembus angin. Saat kembali nanti, akan kupastikan bahwa disana memang mekar bunga kenanga.

Langkahku semakin terasa berat. Setelah melewati turunan yang harum, kami kembali meniti jalan meninggi yang seakan tak berpuncak. Di kiri kami, di bawah sana terhampar peta cahaya yang anggun. Di belakang kami, di hadapan tangga menuju langit, berdiri megah sebuah bukit. Bukit itulah yang telah kami lewati. Otot betisku seakan ditarik ke arah berlawanan, rasanya aku tak mampu menyertai teman-temanku lagi. Aku pun ambruk setelah kakiku kram. Emen memijit kakiku hingga ototnya tak tegang kembali. Aku tak percaya tindakanku bisa senekat ini, pikirku ingin kami mendirikan tenda di sana saja, tapi aku tak boleh menyerah pada godaan rasa lelah. Kesempatan beristirahat adalah salah satu kemudahan yang kami dapat dalam kesulitan menjangkau kebersamaan yang indah di garis finish.

Ujung jalan mendaki mulai terlihat, namun kami terkejut setelah sadar bahwa dibalik puncak pendakian, di bawah kanopi pohon-pohon raksasa, tepat di jalur lurus yang harus kami lewati, melintang sebuah batang raksasa berdiameter tak kurang dari 3 meter yang menutupi jalan. Tak mungkin kami kembali untuk mendirikan tenda di jalan, tak mungkin pula kami bermalam di hutan gelap yang rawan hewan buas itu. Kami beranjak mendekat ke arah pohon itu. Syukurlah, ternyata tak sepenuhnya jalan tertutup. Batang pohon itu menyisakan ruang dibawahnya sehingga kami bisa lewat melalui terowongan beratap pohon tumbang. Terowongan itu seakan gerbang menuju kegelapan. Setelah melewatinya, euforia langit malam tertutup atap hutan. Dengan bermodal senter, kami terus melaju menembus hitam. Masih di tengah belantara, kami beristirahat sambil melepas dahaga. Dari arah depan, kulihat dua titik cahaya hijau berjarak beberapa sentimeter bergerak ke arah kami. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika itu adalah kilau sepasang mata macan kumbang yang lapar. Beberapa saat kemudian kedua sinar itu menjauh satu sama lain. Ternyata itu kunang-kunang. Rasa takut yang semula mampir berubah menjadi takjub. Maka aku sadar betapa cerobohnya orang yang terlalu dini menilai sesuatu yang ia rasa buruk akan selamanya buruk.

Langkah demi langkah terus berlalu, tepat di hadapan jalan lurus yang kami injak terlihat hamburan biru cahaya rembulan. Sang penjaga malam terlihat senang dapat kembali melihat kami dari atas sana, akhirnya kami tiba di sebuah lapangan luas. Di depan kami, di bawah hujan cahaya langit malam, tampak hamparan luas genangan tenang. Hembus angin malam turut berbisik lirih, selamat datang di Talaga Bodas.

Setelah merebah di atas kerikil kecil tepi danau, kami beranjak menuju tempat lain untuk mendirikan tenda. Kami pun tiba di sisi lain tepi danau, di samping sebuah kolam yang airnya terlihat mengepul, di bawah sebuah pohon, kami menancapkan pancuh-pancuh tenda. Di batang pohon yang menempel ke tebing itu terdapat papan bertuliskan larangan untuk mendirikan tenda di bawahnya. Di bawah pohon itu, di dinding tebing, tampak menganga sebuah lubang berdiameter sekitar satu meter. Kami langgar larangan itu karena daerah itu nyaman dan strategis. Kami pun membagi tugas, sementara sebagian mendirikan tenda, yang lain memasak mie. Setelah tenda berdiri dan perut terisi, kami beranjak tidur. Sebelum kami terlelap, aku mengusulkan agar esok pagi kami langsung pulang saja, aku takut kekhawatiran yang ibu Luthfi rasakan, yang juga ibuku rasakan akan terjadi.

Semburat rona fajar mulai mengembang di tepi timur. Dingin pagi mengiringi segarnya udara yang kuhirup. Hamparan putih yang mengepul di depan tenda kami memaksaku menelan ludah sendiri. Kucabut pernyataanku untuk pulang Kamis itu, Talaga Bodas terlalu indah untuk segera ditinggalkan. Setelah larut dalam kontemplasi ibadah subuh, kami memanjakan diri dalam kesegaran berlatar alam dengan merendam diri di kolam air panas tepat di samping tenda kami. Setelah menemukan sumber mata air, kami menyantap sarapan pagi. Awan yang beriring berlatar biru cerah menggoda kami menyusuri tepian danau. Bagian utara danau dihiasi daerah berbatu. Di sana kami menjumpai air berwarna cokelat keruh yang meletup-letup. Jejak langkah kami membekas di pasir pinggir danau, berdampingan dengan jejak kaki babi hutan. Danau itu memang layak bernama Talaga Bodas, air di bagian tengah berwarna putih mengepul. Ternyata kepulan itu bukan berarti airnya panas. Saat kusentuh ternyata air danau itu sedingin embun. Perhatian kami kemudian tertuju pada suara aneh dari arah barat yang akan kami tuju. Itu suara babi hutan. Langkah kami sempat terasa berat, kami khawatir saat melewati suara itu, ada babi hutan yang marah. Akhirnya kami memberanikan diri melintasi sumber suara. Tak ada apa-apa, langkah kami kemudian menuntun ke sebuah sungai kecil di samping titik awal kedatangan kami tadi malam. Dari sana terlihat tenda kami yang dijaga Alferz, Andris dan Ega. Setelah puas memanjakan mata, kami kembali ke tenda.

Sebentar lagi waktu dzuhur tiba, Emen mengajakku mengambil air wudhu untuk kemudian mengaji bersama. Setelah shalat, kami menyantap makan siang bersama yang lain. Sambil menemani matahari, kami bernyanyi diselingi canda tawa. Tak terasa sang bola api raksasa mulai berpamitan. Dari kejauhan terdengar suara raungan mesin motor yang mendekat. Rombongan beranggota belasan orang itu kemudian mendirikan tenda beberapa meter di samping tenda kami. Ternyata mereka adalah tetangga Dinar, dengan mudah komunikasi antara kami pun langsung terjalin. Sambil membantu membuat api unggun, salah satu dari mereka mengingatkan kami untuk tidak terlalu gaduh, karena di atas sana ada sebuah kuburan. Kami tersentak, tak percaya pada kenyataan bahwa di tempat dengan akses sesulit itu masih bisa ditemui kuburan. Dia juga berkata bahwa daerah berbatu di pinggir danau adalah daerah pusat magnet, maka wajar jika tak ada sedikitpun sinyal yang menyentuh daerah itu.

Malam kembali memainkan gilirannya, rombongan tetangga Dinar sudah berangkat ke kuburan untuk berziarah. Malam Jumat itu api unggun malu berpijar terang. Setelah menyantap makan malam dan mengaji bersama, kami menanti kantuk dengan mengobrol di dalam tenda. Setelah cukup lelap tertidur, aku terbangunkan suara shalawat dari tenda tetangga kami, kelopak mataku masih terasa berat, alam mimpi masih butuh kehadiranku. Setelah beberapa saat terlelap kembali, aku kembali terjaga oleh gaduh di sekitar tenda kami. Rombongan peziarah itu terdengar sedang mandi di tengah dinginnya selimut malam, aku tak peduli dan tidur kembali.

Pagi itu warna langit masih biru suram. Rombongan pengendara motor pamitan untuk pulang lebih awal. Kami pun segera berkemas untuk segera menyusun bab akhir perjalanan itu. Sebelum pulang, aku dan Budpi merekomendasikan untuk melewati tepi danau yang kemarin kami susur. Entah apa alasan mereka, ternyata yang setuju untuk melalui jalur itu hanya kami berdua, akhirnya kami ikut suara terbanyak. Setelah berucap doa, kami meninggalkan Talaga Bodas. Mentari mengamati langkah kami dari balik rindangnya pohon hutan. Sebuah pesona menggoda kami dari atas tebing sana. Saat itu memang bukan musim berbunga, tapi disana kami menemukan bunga edelweiss. Bunga itu masih putih dan segar, sayang jumlahnya tak banyak. Dinar memberanikan diri menaiki tebing dan memetiknya. Rencananya bunga itu akan ia berikan pada Astika, hanya untuk Astika, teman sekelas kami yang sangat ia sukai.

Langkah kami lebih ringan dibanding saat perjalanan menuju Talaga. Selain jalan yang menurun, saat pulang mata kami pun dihibur oleh luasnya langit yang sebenarnya kecil di hadapan Sang Mahabesar. Budpi kembali membelokkan kami ke arah hutan, katanya itu jalan pintas. Budpi memang lebih tahu tentang hutan daripada yang lain. Selain pernah beberapa kali mengunjungi Talaga Bodas, ia juga salah satu anggota PASKA 91, organisasi pecinta alam di sekolah kami. Kami menembus semak belukar hutan pinus. Alferz terus mengingatkan bahaya lubang yang tidak terlihat, meski sebenarnya dialah yang harus sering diingatkan, karena justru Nasution muda itulah yang lebih sering terperosok. Di tengah perjalanan dalam hutan pinus itu Budpi menginstruksikan untuk berbalik arah. Kami mulai merasakan ada yang tidak beres dengan Budpi. Akhirnya ia mengaku sedang menjadikan kami tikus percobaan untuk mencari jalan pintas. Suasana sempat menegang, ia memperingatkan kami untuk tak banyak bicara. Hutan memang misterius, sekali kita mengatakan bahwa kita tersesat, maka kita akan benar-benar tersesat, dan kakak Budpi yang juga anggota PASKA sempat mengalaminya. Saat itu anggota PASKA menyusuri rimba diiringi yel yang biasa mereka nyanyikan. Dalam yel itu ada kata yang mereka ganti dengan kata “bagong” (babi hutan). Akhirnya mereka sempat tersesat, terus berjalan tanpa tentu arah tujuan, layaknya babi hutan yang lari tak tentu arah. Syukurlah akhirnya mereka selamat. Tanpa banyak mulut, kami terus menuruni hutan, berharap segera kembali ke jalan besar. Budpi meyakinkan bahwa kami pasti tak akan tersesat dan kami tak boleh panik. Kami pun menghibur diri dengan berfoto dan bercanda-canda. “Take it easy and everything will be OK”, pepatah itu memang tak perlu disangsikan lagi keampuhannya. Kami kembali ke jalan utama tanpa kurang sehelai mahkota edelweiss pun. Aku kembali teringat wangi bunga yang tercium saat kami berangkat. Saat kutanyakan pada yang lain, ternyata mereka pun menciumnya. Kami sepakat akan memastikan bersama bahwa disana memang ada bunga.

Selang beberapa meter setelah keluar dari jalan pintas, di belakang kami melaju sebuah truk pasir ke arah yang kami tuju. Tanpa pikir panjang tangan kami melambai, truk pun berhenti mempersilahkan kami naik. Di situlah salah satu momen yang indah, kami bergoyang kesana-kemari di dalam bak truk dengan diiringi tawa, layaknya balerina yang sedang beraksi. Bukan, bukan musik yang menuntun gerakan kami, tapi jalan yang dilalui truk itu memang berbatu, kami pun terombang-ambing di dalamnya. Tak lama lagi daerah tempat kami mencium wangi bunga akan terlewati. Kami bersiap untuk mencari bunga yang biasa dipakai di acara pemakaman itu dari atas truk. Aku masih ingat, bau itu tercium sebelum kami berbelok di hadapan sebuah tebing yang diatasnya tertancap papan bertuliskan bahwa daerah itu adalah hutan lindung. Ya, disinilah tempatnya. Hasil pengamatan kami ternyata tak begitu mengecewakan, tapi menyedihkan. Tak ada satupun bunga kenanga di sana, kami hanya melihat belukar homogen yang berjejer bisu. Berarti, wangi itu berasal dari... sudahlah, lupakan masalah parfum.

Kami mulai menjumpai petani yang sedang menghadapkan punggungnya ke langit, mereka tampak loyal menjalankan tugasnya sebagai khalifah muka bumi. Dengan lantang kami melontarkan salam ke arah mereka. Mendengarnya, kening basah itu mengerut menghadap sumber suara. Tentu saja kami tak mengenali mereka, tapi kegilaan itu cukup membantu mengobati rasa kecewa kami karena tak berhasil menemukan bunga kenanga. Beriring deru mesin diesel, kami menikmati bukit hijau terjal di jalan yang tidak kami lalui. Di malam keberangkatan, jalan itu tidak kami lalui karena kami menerobos kebun. Kami tertegun menyaksikan satu lagi kejutan perjalanan kami. Di sana kami melihat sekuntum mawar yang mekar klimaks. Ia tampak setia bertengger di samping sebuah kuburan. Sebuah pusara yang ditemani satu mawar merah yang merekah megah, sebuah kombinasi absurd di tempat seperti itu. Aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika malam itu kami melintasi jalan itu. Jalan desa semakin ramai, kami memasuki perkampungan yang sedang sibuk mengisi hari. Sekitar pukul 10 kami tiba di depan di depan mesjid agung Wanaraja. Setelah berterima kasih pada pak supir, kami berjalan menuju rumah Dinar untuk mempersiapkan diri menghadiri majelis Jumat.

***

Pagi itu ruang kelas XII IPA 5 hangat dengan topik pembicaraan seputar petualangan ke Talaga Bodas. Budpi sudah menceritakan detil perjalanan kami pada Deni yang juga anggota PASKA. Deni yang lebih berpengalaman dari Budpi mengatakan bahwa ia sendiri tidak berani menyusuri tepi barat danau, apalagi mendekati sarang babi hutan, meskipun ia dibekali senjata. Mulutku menganga mengetahui bahayanya daerah yang telah kami tempuh dengan hanya berbekal sebotol air minum. Berita dari Dinar tak kalah mengejutkan. Tetangga Dinar, salah satu anggota rombongan peziarah yang di malam kedua itu belum terlelap, bersaksi bahwa ia melihat beberapa ekor babi hutan di sekitar tenda kami. Mulutku terbuka lebih lebar, ternyata larangan mendirikan tenda itu bukan tanpa alasan. Mungkin lubang di bawah pohon itu adalah pintu rumah keluarga babi hutan. Meski tak kecil resiko yang harus kami hadapi, inginku sesekali kembali mencicipi megahnya romantika bahaya alam bersama mereka, teman sekelasku selama 3 tahun di SMA. (rz)









Labels: