Sewaktu duduk di bangku SMA, gelar mahasiswa adalah salah satu idaman saya. Apalagi setelah seorang kakak kelas mendeskripsikan indahnya kehidupan kampus. Menurutnya, di universitas, sikap empati begitu dijunjung tinggi. Seorang mahasiswa yang terlambat datang, bisa mendapat perlakuan spesial dari pengajar. Mahasiswa itu akan dipersilahkan masuk dan duduk di bangku barisan depan, karena pengajar berpikir bahwa mahasiswa yang terlambat datang adalah mereka yang benar-benar berniat datang dan menuntut ilmu, meskipun mungkin berbagai masalah menghalanginya untuk datang tepat waktu.
Tak kurang dua tahun telah saya lewati menyandang gelar ini. Mahasiswa, gelar tertinggi penuntut ilmu formal. Empati yang sempat dijanjikan saat SMA dulu, memang terasa, dengan pemberian toleransi 15 menit keterlambatan hadir dalam perkuliahan. Logis, karena jika tidak dibatasi, tidak lucu juga jika ada mahasiswa yang baru datang beberapa menit sebelum kelas bubar. Namun rasanya perlu ada empati lain yang perlu diterapkan dalam perkuliahan. Ada mahasiswa yang mampu mengikuti seluruh perkuliahan tanpa gangguan, namun tak sedikit pula mereka yang menemui berbagai kendala. Salah satu kendala tersebut adalah mengantuk. Tak bisa dipungkiri, masalah ini berpengaruh terhadap kadar penyerapan informasi yang idealnya diserap sempurna dari penjelasan pengajar. Sebagai pusat perhatian dalam kelas, beberapa pengajar ada yang terganggu dengan sikap mahasiswanya yang mengantuk. Berbagai respon pun kerap ditunjukkan atas fenomena tersebut. Ada yang langsung menegur, ada pula yang maklum. Dalam kaitannya dengan sikap empati yang dijanjikan sejak masa SMA tadi, saya pikir alangkah mulianya jika pengajar/asisten pengajar/pengajar berpikiran bahwa mahasiswa yang mengantuk di kelas adalah mereka yang perlu mendapat ‘apresiasi’. Bisa saja mereka mengantuk karena malamnya harus mengerjakan tugas, atau belajar, atau mengaji, tapi apakah dengan bersuudzon ia akan merubah tingkahnya (mengantuk)? Berpikiran negatif ataupun positif, nyatanya sang mahasiswa sedang mengantuk, dan tindakan membangunkan di depan kelas adalah ide buruk. Selain dapat menanamkan citra negatif pengajar di depan mahasiswa, membangunkan mahasiswa yang tertidur dari depan kelas akan menjatuhkan citra mahasiswa itu sendiri. Cara yang sebaiknya ditempuh dalam situasi ini diantaranya adalah dengan mengajak siswa melakukan gerakan peregangan, berdiri sejenak, atau menampilkan cuplikan film yang berkaitan dengan materi, dll.
Jika seseorang ingin menjadikan seluruh dunia terlihat berwarna merah, ada dua cara yang bisa ia tempuh. Pertama, warnai semua hal yang akan ia lihat agar terlihat merah. Sulit memang, tapi memang itulah salah satu caranya. Cara kedua, cara yang jauh lebih mudah dan murah, adalah dengan memakai kacamata merah. Jadi intinya, jika ingin mengubah dunia, mulailah dengan mengubah diri sendiri. Di akhir tulisan ini, saya mengutip tulisan dalam buku Pendidikan Karakter karya Ibu Ratna Megawangi. Sajak berikut ini, konon terukir di sebuah pemakaman tua di Webminster Abbey, Inggris tahun 1100M.
HASRAT UNTUK BERUBAH
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal
Aku bermimpi ingin mengubah dunia
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Kudapati bahwa...
Dunia tak kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun aku persempit
Lalu kuputuskan untuk hanya merubah negeriku
Namun nampaknya...
Hasrat itu pun tiada hasilnya
Ketika usiaku semakin senja
Dengan semangatku yang masih tersisa
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku
Tetapi celakanya...
Mereka pun tak mau diubah
Dan kini
Sementara aku terbaring saat ajal menjelang
Tiba-tiba kusadari...
“andaikan yang pertama aku ubah adalah diriku sendiri
Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan
Mungkin aku bisa mengubah keluargaku
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka
Bisa jadi aku pun mampu merubah negeriku
Kemudian siapa tahu
Aku bahkan bisa mengubah dunia”
Labels: opini